Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi Edisi 8 - Desember 2010
RKAB Bentuk Komitmen Perusahaan Tambang Terhadap Negara
WARTA
Profil
• Ketika Pascatambang sudah Menjadi Isu Dunia
• Energi untuk Kini dan Akan Datang
Ir. Syawaluddin Lubis, MT
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara
WARTA Mineral, Batubara & Panas Bumi.
Diterbitkan oleh :
Direktorat Jenderal Mineral, Batubara & Panas Bumi
Penasehat :
Dr. Ir. Bambang Setiawan
Penanggung Jawab
Dr. Ir. S. Witoro Soelarno
Koordinator Redaktur
Edi Prasodjo, MSc
Fadli Ibrahim, SH
Chaerul A.Djalil, S.Sos
Editor
Ir. Hildah, MM
Helmi Nurmaliki SH
Rina Handayani, ST
Irfan K. ST
Redaktur Pelaksana
Ir. MP Dwinugroho. MSE
Dra. Samsia Gustina, MSi
Benny Hariyadi, ST
Penulis Artikel
Agus Yuliyanto
Djajat, ST
I Made Edy Suryana, ST
Ir.R.Yunianto Revolida
Ir. Sujatmiko
Mohamad Anis ST. MM.
Parlindungan Sitinjak, S.T.
Y. Sulistiyohadi, ST
Yulianto Tri Nugroho
Alamat Redaksi
Jl. Prof. Dr. Supomo, SH No. 10 - Jakarta 12870
Telp : +62-21 8295608
Fax : +62-21 8315209, 8353361
Website
www.djmbp.esdm.go.id
E-mail:
wartambp@djmbp.esdm.go.id
03 PENGANTAR REDAKSI ARTIKEL MINERBAPABUM
04 RKAB, Bentuk Komitmen Perusahaan Tambang Terhadap Negara
08 Mengatasi Permasalahan Lingkungan Pertambangan Akibat Kolam Pengendapan
12 Ketika Pascatambang Sudah Menjadi Isu Dunia
16 Energi untuk Kini dan Akan Datang
22 Analisa Kebijakan Rel Kereta Api Puruk Cahu
26 Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan
30 Penerapan Program Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah Mineral Logam Indonesia
PROFIL
42 Ir. Syawaluddin Lubis, MT
INFO MINERBAPUM
47 Penghargaan Keselamatan Pertambangan dan Kepanasbumian Tahun 2010
47 Seminar Usaha Jasa
48 Workshop Aplikasi PP 39/2006 dan Aplikasi Pelaporan
49 CELOTEH SIMINO Redaksi menerima tulisan dari dalam maupun luar lingkungan Ditjen Minerbapabum. Silahkan kirim artikel Anda berikut identitas diri dan foto ke alamat redaksi
Ilustrasi pengawasan dan pembinaan mineral dan batubara di Indonesia.
DAFTAR ISI
2 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010 Pada edisi akhir tahun 2010 ini, Warta kembali hadir menyapa anda dengan berbagai artikel menarik dan penting untuk kita simak.
Pembaca yang budiman, Sosok yang diangkat pada edisi kali ini adalah Ir. Syawaluddin Lubis, MT selaku Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara. Beliau menjelaskan tentang PP 55/2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan dan PP 78/2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang. Dalam wawancaranya, beliau mengharapkan agar kedua PP ini efektif mengawal kegiatan pengusahaan mineral dan batubara agar sesuai dengan kaidah teknik pertambangan yang baik, berwawasan lingkungan dan mendukung program pembangunan berkelanjutan. Dalam artikel lainnya, kami juga mengangkat mengenai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya atau dengan singkatan RKAB. Bagaimana cara menyusun dan kenapa RKAB tersebut disusun oleh perusahaan pertambangan. Penulis menelusuri berbagai aspek penting dalam RKAB yang dapat menggambarkan apa yang seharusnya disusun dalam RKAB tersebut. Artikel lainnya yang menarik untuk dibaca adalah bagaimana cara mengatasi permasalahan lingkungan pertambangan akibat kolam pengendapan. Penulis mencoba mengkaji karakteristik intensitas hujan di Indonesia dikaitkan dengan sistem drainase yang harusnya dikembangkan. Desain kolam pengendapan yang buruk ditengarai berkontribusi besar pada erosi yang terjadi disekitar tambang. Peningkatan nilai tambah merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka salah satunya untuk meningkatkan pendapatan negara. Pada edisi kali ini, anda dapat membaca dua buah artikel yang terkait dengan peningkatan nilai tambah. Selain itu masih ada beberapaartikel tulisan yang menarik dan menambah
informasi tentunya untuk dibaca. Pembaca yang budiman, Dalam info edisi Warta VIII ini, kami menyajikan salah satunya tentang penghargaan lingkungan dan K3 serta penyelenggaraan pertemuan usaha jasa tahunan. Penghargaan K3 dan Lingkungan diberikan setiap tahunnya sebagai bentuk apresiasi terhadap perusahaan yang telah melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik di bidang K3 dan Lingkungan. Selamat membaca. Tinjauan Aspek Keteknikan PP 55 dan 78/2010 PENGANTAR REDAKSI edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 3 Agus Yuliyanto (Kasie Pengawasan Operasi Produksi Batubara) Yulianto Tri Nugroho (Evaluator PKP2B Sie. Pengawasan Operasi Produksi Batubara) Berdasar dokumen perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan batubara, perusahaan PKP2B diwajibkan untuk melakukan penyusunan Rencana Kerja Operasi Batubara Tahunan yang terangkum ke dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja Negara (RKAB). Setelah mendapat persetujuan RKAB, perusahaan berhak dan wajib melakukan kegiatan operasional sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam persetujuan RKAB tersebut. Dalam dokumen RKAB terdapat persetujuan mengenai kegiatan operasional penambangan yang terbagi menjadi beberapa aspek yang akan dilakukan pengawasan oleh pemerintah. Adanya achievement dan deviasi dalam realisasi rencana kegiatan dalam Persetujuan RKAB akan dipertanggungjawabkan ke dalam penilaian kinerja per triwulan dan per semester. Seiring berjalannya kegiatan operasional yang dilakukan masih terdapat beberapa kendala yang menjadikan rencana dalam Persetujuan RKAB direkomendasikan untuk direvisi. Revisi persetujuan RKAB paling lambat diajukan kepada pemerintah pada akhir Triwulan III sehingga selama progress operasional, dilakukan kontrol dan monitoring kegiatan baik secara administratif laporan berkala bulanan, triwulanan, dan tahunan serta kunjungan langsung ke lapangan di lokasi perusahaan yang bersangkutan melakukan operasional. Sehingga diharapkan realisasi kegiatan operasional penambangan sesuai dengan rencana yang disepakati oleh pemerintah dan perusahaan PKP2B yang tertuang dalam Persetujuan RKAB yang berimplikasi langsung terhadap pembangunan dengan optimalisasi penerimaan negara, maupun aspek community development disamping aspek lingkungan dan tentunya benefit perusahaan.
RKAB Bentuk Komitmen Perusahaan Tambang Terhadap Negara
4 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010 ARTIKEL MINERBAPABUM Rencana Kerja dan Anggaran Biaya atau dikenal dengan RKAB merupakan bentuk rencana perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang disusun sebagai pedoman bagi perusahaan PKP2B untuk periode satu tahun ke depan. Saat ini, di Direktorat Pembinaan dan Pengusahaan Batubara, telah berlangsung kegiatan presentasi pemaparan rencana kegiatan operasional penambangan tahun 2011 untuk 47 perusahaan PKP2B Tahap Produksi di bawah pengawasan pemerintah pusat bersama pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Pembahasan RKAB meliputi beberapa aspek yang merupakan manifestasi kegiatan yang dipertanggungjawabkan ke negara. Adapaun aspek yang dibahas di pembahasan RKAB meliputi:
1. Aspek Eksplorasi Eksplorasi merupakan kegiatan pencarian cadangan komoditi yang dilakukan secara bertahap dan mengikuti dengan kaidah keilmuan geologi yang berlaku. Terdapat beberapa kegiatan dalam ekplorasi di antaranya adalah pemetaan topografi, infill drilling, maupun coring. Berdasar hasil eksplorasi tersebut akan menghasilkan sumber daya maupun cadangan dari suatu lokasi konsesi perusahaan yang bersangkutan.
2. Aspek Cadangan Cadangan merupakan bagian dari sumber daya yang telah diketahui dimensi, sebaran, kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian kelayakannya dinyatakan layak untuk ditambang (Anonim, 1997) . Mengacu pada SNI maka akan dihasilkan cadangan terkira dan terukur. Menyangkut cadangan, maka ada neraca cadangan yang merupakan hasil ukuran jumlah up to date dari jumlah cadangan dan sumber daya yang merupakan hasil dari kegiatan eksplorasi yang up to date. Sehingga setiap perusahaan seharusnya tetap melakukan kegiatan ekplorasi untuk melakukan update data sumber daya maupun cadangan komoditinya.
3. Aspek Studi AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia.
4. Aspek Konstruksi dan Investasi Sebelum dan saat melakukan operasional penambangan, perusahaan harus mempersiapkan konstruksi sebagai infrastruktur penunjang. Oleh karena itu, harus diperhitungkan secara akurat investasi yang dikelola untuk kegiatan infrastruktur tersebut, time line break event point, dan keuntungan setelah usaha penambangan telah dijalankan dengan tetap memperhatikan aspek community development maupun lingkungan.
5. Aspek Operasi Penambangan Aspek operasi penambangan akan menghasilkan produksi batuan penutup dan material komoditi baik batubara maupun mineral. Dalam RKAB akan dicantumkan seberapa ton/onz komoditi yang akan diperoleh jika melakukan pengupasan sekian BCM batuan penutup, yang akan diperoleh Nisbah Pengupasan/Stripping Ratio (SR) untuk batubara yang mencerminkan nilai ekonomis dari aspek penambangan. Selain itu juga bisa dijadikan acuan untuk evaluasi keekonomisan, misal dengan adanya kecenderungan naiknya komoditi batubara saat ini, maka akan sangat bagus dilakukan strategi melakukan pembukaan lahan baru/penambangan yang lebih dalam sehingga SR akan semakin besar, untuk keperluan konservasi komoditi batubara disamping tetap ekonomis karena terdongkrak dengan naiknya harga batubara.
6. Aspek Pemasaran Aspek pemasaran terbagi menjadi pemasaran domestik langsung ke enduser atau dikenal dengan istilah DMO serta pemasaran ke luar negeri atau ekspor. Untuk pemasaran DMO 2010 maka harus mengacu kepada Kuota DMO 2010 yang dituangkan dalam Kepmen ESDM Nomor 1604K/30/MEM/2010 untuk kebutuhan dalam negeri 2010. Dalam keputusan menteri tersebut, setiap perusahaan PKP2B diwajibkan melakukan DMO dengan persentase 24,75% dari produksi masing-masing perusahaan. Sedang untuk kebutuhan 2011 mengacu pada edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 5 Kepmen ESDM No. 2360 K/30/MEM/2010. Untuk saat ini kendala utama berkurangnya DMO adalah kualitas batubara produsen yang tidak sesuai dengan spesifikasi batubara yang banyak terdapat di dalam negeri dan jikalaupun ada permintaan, maka penawaran harga yang dipatok oleh enduser banyak yang terdapat di bawah harga pasar batubara internasional maupun di bawah Harga Batubara Acuan (HBA).
7. Aspek Tenaga Kerja dan Pelatihan Tenaga kerja (manpower) bisa berasal dari tenaga kerja dalam negeri yang terbagi sebagai staf dan nonstaf yang merupakan pekerja lokal serta ada yang menggunakan tenaga kerja asing. Tetapi pada dasarnya perusahaan dihimbau untuk tetap memprioritaskan serta mengoptimalkan tenaga kerja dalam negeri, termasuk untuk subkontraktornya.
8. Aspek Pengembangan Masyarakat Community Development (comdev) atau pengembangan masyarakat merupakan wujud kontribusi langsung perusahaan terhadap lingkungan masyarakat di sekitar area penambangan yang berupa pengembangan kualitas sumber daya masyarakat, kewirausahaan masyarakat sektor tambang maupun peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur dalam masyarakat setempat. Kegiatan comdev ini harus dikoordinasikan dengan pemda setempat sebelum diajukan ke forum RKAB di pemerintah pusat.
9. Aspek Lingkungan Aspek lingkungan merupakan aspek penting yang tidak luput dari perhatian. Setiap pengaruh dari operasional penambangan akan sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan. Sehingga kontrol aspek lingkungan juga semakin diperketat agar kondisi kerusakan lingkungan diminimalisir serta tetap terkontrol. Sebelum ke forum RKAB biasa dilakukan presentasi RKTTL di Direktorat Teknik dan Lingkungan.
10. Aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pada aspek ini hanya ada satu kata SAFETY FIRST, artinya semua kegiatan dalam sistem operasional penambangan harus tunduk pada aturan safety yang telah ada. Sanksi terhadap aturan safety sangat tegas, berupa peringatan hingga PHK. Selain penegakan kedisiplinan safety juga diperhatikan mengenai APD (Alat Perlindungan Diri) yang memenuhi standar ketentuan yang berlaku.
11. Aspek Keuangan Aspek keuangan merupakan aspek yang menunjukkan tingkat kesehatan perusahaan yang bersangkutan. Hal ini tercermin dalam net profit margin masing-masing perusahaan
yang dipengaruhi oleh net profit dengan angka penjualan. Semakin besar angka net profit margin
maka semakin sehat perusahaan yang bersangkutan. Disamping itu, ada juga faktor-faktor
keuangan lain yang dijadikan acuan dalam evaluasi tingkat kesehatan perusahaan. Faktor besarnya harga jual sebagai penerimaan perusahaan dan Penerimaan Negara (PNBP) dan faktor biaya-biaya operasional yang berpengaruh pada pajak terhadap pemerintah merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam evaluasi aspek keuangan ini. Aspek-aspek yang telah disebutkan di atas merupakan pokok-pokok yang dijadikan patokan dalamPersetujuan RKAB tahun berikutnya. Evaluasi juga dilakukan terhadap realisasi RKAB tahun sebelumnya, yakni mengevaluasi tingkat pencapaian keberhasilan dengan rencana yang telah disetujui oleh pemerintah. RKAB merupakan alat kontrol pemerintah melakukan monitoring dalam pengawasan aspek-aspek yang telah menjadi komitmen tersebut dalam wadah Persetujuan RKAB. Setiap perusahaan PKP2B wajib melaporkan secara kontinu baik periode bulanan, triwulan, serta tahunan dengan format laporan yang telah ditetapkan. Laporan juga harus mencantumkan data yang sesuai dengan aspek-aspek yang tercantum dalam Persetujuan RKAB periode tahun berjalan. Kontrol pengawasan terhadap aspek yang terdapat di Persetujuan RKAB tersebut melalui laporan yang telah dikirim oleh perusahaan PKP2B yang bersangkutan. Data-data laporan perlu dicek dengan kondisi aktual di lapangan, sehingga diperlukan site visit yang melibatkan aparat pemerintah maupun dinas pertambangan dan energi di daerah setempat.
6 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010 Penyampaian Laporan Penyampaian laporan bulanan, triwulanan, maupun tahunan harus mengacu kepada ketentuan yang berlaku. Laporan bulanan produksi dan penjualan disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya. Laporan triwulan paling lambat 30 hari sejak berakhirnya periode triwulan yang bersangkutan untuk laporan RKAB disampaikan paling lambat tanggal 15 November tahun berjalan. Adanya ketidakpatuhan yang dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan akan berakibat munculnya sanksi dari pemerintah yang berupa teguran bahkan bisa sampai dinyatakan default. Perihal tersebut akan berdampak pada penilaian kinerja perusahaan yang saat ini ketentuannya sedang dalam proses penyusunan Peraturan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara.
Revisi RKAB Seiring berjalannya kegiatan operasional yang dilakukan seperti telah disinggung di atas, sering terdapat beberapa kendala yang menjadikan plan direkomendasikan untuk dilakukan revisi. Revisi persetujuan RKAB paling lambat diajukan kepada pemerintah pada akhir Triwulan III Revisi yang diajukan paling lambat pada pertengahan bulan pada bulan terakhir di Triwulan III tahun berjalan. Dengan demikian, ada waktu luang untuk mengkoordinasikan waktu yang tepat untuk presentasi pembahasan revisi yang diajukan oleh perusahaan yang bersangkutan. Revisi yang diajukan harus relevan dengan aspek yang telah ada di Persetujuan RKAB dan harus proporsional dengan kondisi yang ada di perusahaan yang bersangkutan. Jika revisi Persetujuan RKAB telah disetujui, maka perusahaan yang bersangkutan wajib untuk melaksanakan kegiatan yang mengacu kepada hasil revisi Persetujuan RKAB yang baru. Sanksi Dalam proses kontrol pemerintah dalam kegiatan operasional penambangan ada kalanya terdapat deviasi dalam realisasinya dengan rencana yang telah disetujui. Deviasi tersebut biasa terjadi karena kendala dalam realisasi kegiatan operasional di lapangan. Faktor cuaca berupa tingginya angka curah hujan sering menjadi kendala selama ini, disamping adanya faktor lain seperti terkendala dengan Kehutanan (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu) serta rendahnya kemampuan unit operasional (physical availibility unit), kurangnya manpower, hingga demonstrasi dan pemogokan tenaga kerja disamping force majeur seperti banjir bandang yang menggenangi jalan hauling dan lain-lain. Faktor penyebab yang kompleks tersebut harus disikapi secara bijak. Jika faktor penyebab deviasi tersebut bisa dipertanggungjawabkan maka masih ada toleransi dalam mensikapinya. Tetapi lain halnya jika faktor penyebab terjadinya deviasi tersebut terjadi karena masalah teknis yang sebelumnya sudah bisa diperhitungkan maka akan dikenai surat teguran hingga ke arah default (lalai) sampai pada akhirnya terminasi atau ditutup. Jadi, RKAB merupakan suatu acuan bagi perusahaan yang bersifat terukur untuk melakukan kegiatan opearsional penambangan terkait dengan beberapa aspek yang mengacu pada beban biaya yang dibelanjakan dan hasil keuntungan yang diperoleh selain sebagai komitmen perusahaan dengan adanya kontribusi bagi penerimaan negara. Bagi pemerintah RKAB dijadikan sebagai acuan untuk melakukan kontrol dan monitoring serta evaluasi terhadap kinerja perusahaan sebagai wujud komitmen perusahaan yang berkontribusi bagi negara. Untuk melakukan penilaian kinerja atas keberhasilan pelaksanan RKAB sedang disusun suatu pedoman penilaian kinerja perusahaan tambang dengan metode scoring keberhasilan RKAB. edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 7 Mengatasi Permasalahan Lingkungan Pertambangan Akibat Kolam Pengendap Y. Sulistiyohadi, ST (Staff Subdit Lindungan Lingkungan Pertambangan) Keunikan penambangan di Indonesia adalah curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi. Hal ini
menjadi suatu tantangan bagi engineer di lapangan dalam melakukan kegiatan penambangan. Pada
beberapa contoh kasus produksi tidak tercapainya dari yang direncanakan akibat perilaku hujan dan
anomali curah hujan. Penyimpangan perilaku hujan tersebut membawa dampak pada tidak sesuainya desain saluran drainase yang sudah ada. Ditambah lagi kapasitas kolam pengendap tidak mampu mengolah air buangan (over capacity). Berkaitan dengan hal tersebut, penulis membahas teknik perancangan kolam pengendap agar dapat membantu dalam perancangan kolam pengendap untuk mengatasi permasalahan pencemaran air di pertambangan.
8 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010 ARTIKEL MINERBAPABUM
Intensitas Hujan
Intensitas hujan didefinisikan sebagai jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Nilai intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik secara statistik maupun secara empiris.
Intensitas hujan di Indonesia termasuk dalam kategori tinggi, yakni 2.000–5.000 mm/tahun. Seba-gai bahan perbandingan, curah hujan di beberapa lokasi tambang disajikan dalam grafik perbandingan intensitas hujan di beberapa negara.
Grafik di atas menggambarkan bahwa intensitas hujan di Indonesia dua kali lipat dibandingkan dengan Brazil, yang sama–sama mempunyai predikat hutan hujan tropis. Intensitas hujan merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh para penambang di Indonesia, dibandingkan dengan menambang di negara lain.
Sistem Drainase
Air hujan akan mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Sebagian terserap secara infiltrasi ke dalam tanah dan sebagian lagi berhubungan langsung dengan permukaan tanah lalu terbawa secara gravitasi sepanjang permukaan menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan memerlukan saluran yang disebut dengan saluran drainase. Drainase (drainage) berasal dari kata kerja to
01.0002.0003.0004.0005.0006.000Rainfall ( mm)74486528629670141630163767349223924956Australia (Perth)PeruChina (Zhengzhou)Indonesia-Sumatera (3016 mm)Indonesia-Sulawesi (3492 mm)Indonesia-Papua (4956 mm)CanadaSouth AfricaBrazilIndonesia-Kalimantan (3767 mm)Indonesia-Maluku (2392 mm)
Perbandingan intensitas hujan beberapa negara dengan beberapa wilayah di Indonesia Sumber : www.climatetemp.info dan BMG Indonesia edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 9 drain yang berarti mengeringkan atau mengalirkan air. Drainase adalah terminologi yang digunakan untuk menyatakan sistem–sistem yang berkaitan dengan penanganan masalah kelebihan air, baik diatas maupun dibawah permukaan tanah . Drainase diperlukan untuk membuang akumulasi air yang berlebihan, baik yang berada dalam permukaan tanah maupun yang berada pada lapisan bawah permukaan tanah. Drainase mutlak diperlukan pada daerah dan kondisi sebagai berikut:
1. Tanah berlereng atau memiliki kemiringan besar. Aliran dalam daerah ini biasanya tinggi yang sering terjadi erosi, apalagi tanahnya gembur atau lembek yang mempertinggi terjadinya ancaman erosi.
2. Tanah yang dilanda banjir limpasan (aliran air permukaan yang berlebihan), karena kurangnya saluran drainase permukaan serta persyaratannya. Biasanya terdapat pada tanah yang datar, cekungan dan kedap (tanah liat). Akumulasi air permukaan yang berlebihan ini oleh akibat hujan lebat pada daerah setempat. Untuk ini perlu diatasi dengan sarana saluran drainase permukaan yang memadai.
3. Tanah yang dilanda banjir oleh akibat meluapnya sungai selama waktu tertentu. Hal ini terjadi karena adanya hujan lebat di daerah yang lebih tinggi. Keadaan banjir ini disebut banjir kiriman. Daerah yang sering dilanda banjir iniadalah daerah lembah sungai yang elevasinya lebih rendah dari tebing sungainya.
4. Tanah yang mempunyai kedalaman permukaan air tanah sangat kecil, bahkan kadang-kadang nol, sehingga becek. Daerah ini biasanya terletak di bawah perbukitan yang berhutan lebat dan tanahnya pasir. Juga sering terdapat pada daerah lembah sungai/danau dan daerah pasang
surut. Erosi dan Padatan Terlarut Kegiatan pertambangan dengan metode penambangan terbuka seperti yang dilakukan hampir 95 persen di negara kita, menyumbang kontribusi besar erosi dan sedimentasi. Permukaan tanah pada umumnya berhumus, bersifat porus, dan daya ikat antar partikel lemah. Kondisi tersebut diperkuat dengan intensitas hujan tinggi sehingga mempercepat
pelarutan partikel humus/tanah pucuk menuju bagian permukaan tanah yang lebih ren- Kegiatan pertambangan dengan metode penambangan terbuka seperti yang dilakukan hampir 95 persen di negara kita, menyumbang kontribusi besar erosi dan sedimentasi
10 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010 dah. Padatan terlarut (suspended solid) didefinisikan sebagai partikel padat kecil yang keberadaannya tetap/tidak terpengaruh dalam koloid. Padatan terlarut pada kegiatan pertambangan disebabkan oleh pembukaan lahan, penempatan tanah pucuk yang tidak dilengkapi dengan sarana pengendali erosi, serta penempatan batuan penutup di luar pit (out pit dump). Kualitas padatan terlarut dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik tanah dan batuan yang dipindahkan. Karakteristik ini pula yang membedakan kualitas Total Suspended Solid (TSS) pada air buangan (baca: limbah) domestik dan air buangan industri, dengan air buangan pada kegiatan pertambangan. Kolam Pengendap Kolam pengendap sering kita dengar dalam setiap diskusi permasalahan teknis dan lingkungan dalam dunia pertambangan. Kolam pengendap merupakan sarana penunjang dalam pertambangan, sebagai komponen penting terhadap by product kegiatan pertambangan. Keberlangsungan kegiatan pertambangan secara tidak langsung ditentukan oleh kinerja kolam pengendap. Disebutkan demikian karena kolam pengendap merupakan salah satu parameter utama kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan dalam memenuhi baku mutu lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kegiatan pertambangan dapat berhenti sementara maupun permanen akibat dihentikan oleh Inspektur Tambang, karena kolam pengendap tidak berfungsi optimal sehingga effluen yang dihasilkan melebihi baku mutu yang ditentukan. Dengan kata lain kegiatan pertambangan tersebut telah mencemari lingkungan (biota air) karena telah melebihi baku mutu limbah cair.
Beberapa kegagalan kolam pengendap dalam mengelola air buangan pertambangan disebabkan oleh faktor–faktor sebagai berikut :
1. Partikel pencemar padatan terlarut (TSS) mempunyai konsentrasi tinggi yang tidak sesuai dengan beban pengolahan kolam pengendap yang tersedia.
2. Jumlah debit air buangan yang masuk ke kolam pengendap terlalu besar, sehingga tidak sesuai dengan desain kolam.
3. Lahan yang tersedia untuk fasilitas kolam pengendap sangat sempit, tidak sesuai dengan debit air buangan yang harus diolah dan syarat minimum kolam pengendap agar dapat mengendapkan partikel terlarut (TSS).
4. Waktu tinggal partikel terlarut tidak sesuai dengan karakteristiknya, karena kolam yang tersedia tidak cukup besar.
5. Luas permukaan yang tidak sesuai dengan derajat pengolahan yang harus dipenuhi, karena pada umumnya desain kolam pengendap tidak mencakup luas permukaan yang harus tersedia.
6. Dapat dianggap bahwa 99 persen perancangan kolam pengendap yang dilakukan saat ini tidak didahului dengan riset laboratorium melalui uji karakteristik partikel pengendapan.
7. Perancangan kolam pengendap tidak mempertimbangkan berapa debit air buangan yang akan diolah, sehingga kapasitas pengolahan kolam pengendap seringkali tidak sesuai dengan beban yang harus diolah.
8. Air yang mempunyai zeta potensial tinggi menyebabkan ikatan antar partikel stabil sehingga tidak mudah untuk diendapkan.
9. Kolam pengendap akan mempunyai produk samping yaitu lumpur (hasil pengendapan). Pada umumnya operator di lapangan tidak secara rutin melakukan pengerukan lumpur, karena tidak tersedianya sarana yang cukup, atau jumlah lumpur yang mengendap lebih cepat dari waktu yang diperkirakan. Edisi selanjutnya akan dibahas secara teknis mengapa waktu tinggal, debit masuk, luas permukaan, dan zeta potensial berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kolam pengendap dalam mengelola air buangan pertambangan.
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 11
Ir. Sujatmiko
(Kasubdit Lindungan Lingkungan Mineral dan Batubara, Ditjen Minerba, KESDM)
Djajat, ST
(Staf Subdit Lindungan Lingkungan Mineral dan Batubara, Ditjen Minerba, KESDM)
Ketika Pascatambang
Sudah Menjadi Isu Dunia
Catatan dari 5th International Conference on Mine Closure,
23-26 November 2010 Vina del Mar, Chi
Penutupan tambang atau yang dikenal juga
dengan istilah pascatambang (mine closure)
telah menjadi isu dunia saat ini. Hal ini terbukti
dari semaraknya penyelenggaraan konferensi
internasional Mine Closure 2010 (MC10) di Vina del
Mar, Chile. Belum lama berselang, negeri ini menjadi
sorotan dunia karena kisah keberhasilan penyelamatan
33 penambang yang terperangkap di
tambang dalamnya.
Tercatat sebanyak 64 makalah dari 18 negara
disajikan dalam konferensi ini. Konferensi penutupan
tambang ini merupakan yang kelima kalinya
diselenggarakan oleh The Australian Centre for
Geomechanics and the Centre for Land Rehabilitation
at the University of Western Australia dan
direncanakan untuk tahun 2011 akan diselenggarakan
di Alberta, Kanada.
Peserta konferensi adalah perusahaan tambang,
peneliti, konsultan, wakil pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Melalui ajang
ini diharapkan terjadi pertukaran informasi mengenai
perkembangan isu-isu terbaru, pengalaman,
praktik terbaik (best practices) serta dinamika kriteria-
kriteria penutupan tambang yang berkembang.
Terdapat tiga perusahaan tambang dari Indonesia
menjadi peserta dalam konferensi kali
ini, yaitu PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT), PT
Newmont Minahasa Raya (PTNMR) dan PT Freeport
Indonesia (PTFI). PTNMR mengikuti pameran poster
dengan judul “The Use of Life Stake to Facilitate
Tree Growth in the Openings of an Ex-Mining Land:
Newmont Minahasa Raya Inc. Case Study”. Sedangkan
PTFI menyajikan makalah mengenai rencana
pascatambangnya dengan judul “Closure Planning
for a Long-Lived Copper and Gold Mining Operation
in Papua, Indonesia”.
Secara garis besar MC10 terdiri dari dua acara
utama, yaitu presentasi makalah dan pameran
poster. Presentasi makalah dapat dikelompokkan
menjadi beberapa sesi utama yaitu:
• Designing, Planning and Financing Closure
• Stakeholder engagement and Community Development
• Mine site reclamation and rehabilitation
• Phytostabilisation dan Phytoremediation
• Acid and Neutral Rock Drainage
• Mining Legacies and Relinquishment
• Cover Design Construction and Monitoring
ARTIKEL MINERBAPABUM
12 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
•
Legacy-based Framework for Mine closure
•
Tailings Deposits Closure
•
Recent Closure Case Studies
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menyarikan beberapa hasil paparan konferensi yang menarik. Semoga selanjutnya seri tulisan dengan topik spesifik lainnya akan berlanjut dengan kedalaman materi yang lebih jauh.
Pemaparan makalah dimulai oleh presentasi mengenai studi kasus tambang China Clay (kaolin) di Cornwall, Inggris. Bekas tambang yang ada diubah menjadi suatu pusat kebudayaan baru. Pada tempat baru ini berlangsung berbagai macam kegiatan, antara lain penyelenggaraan event dan konferensi, pertunjukan musik dan seni, hingga taman-taman yang berfungsi sebagai pusat penelitian dan konservasi. Singkat cerita, Eden Project—nama proyek pascatambang ini, telah menjadi suatu pusat kebudayaan baru, sesuatu yang unik dan menginspirasi, terlebih lagi proyek ini diklaim sebagai salah satu proyek yang dibangun berdasarkan amal (charity) dan bukan bermotif ekonomi belaka.
Planning and Financing Closure
Makalah yang disusun A.M. Paulino et al (2010) memberikan pencerahan paradigma baru, yaitu rencana pascatambang dapat menjadi powerful tool untuk perencanaan tambang dan penghematan biaya. Logikanya, keputusan-keputusan yang diambil pada awal perencanaan tambang akan signifikan mempengaruhi biaya pascatambang. Dengan mengidentifikasi critical closure cost, maka perusahaan tambang didorong untuk mempelajari dan menerapkan pendekatan alternatif pascatambang. Pendekatan alternatif pascatambang tersebut membutuhkan perubahan dalam desain tambang, perencanaan dan operasi namun dapat berujung pada penghematan biaya pascatambang. Kesimpulan ini merupakan suatu paradigma baru yang cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
Hal yang menarik lainnya adalah mengenai integrasi pascatambang dengan proyek yang baru akan dimulai yaitu studi kasus integrasi rencana pascatambang Proyek Tintaya ke dalam pengembangan Proyek Antapaccay. Keduanya dimiliki oleh Xstrata Copper di Peru. Idenya adalah dengan mengintegrasikan proses dan fasilitas kedua proyek tambang yang berjarak 12 km tersebut. Salah satu praktiknya adalah dengan penggunaan pit Tintaya sebagai tailings storage facility (TSF) Proyek Antapaccay.
Stakeholder Engagement and Community Development
Menarik untuk dicermati bahwa topik ini menjadi sesi preliminary yang diikuti seluruh peserta. Pada konferensi kali ini, tampak sekali penekanan pentingnya stakeholder engagement dan community development. Salah satu poin penting yang perlu dicatat adalah stakeholder engagement harus terus menerus terintegrasi dalam rencana pascatambang.
Makalah yang dibawakan oleh Post-Mining Alliance, Eden Project, Inggris; cukup memberikan ide yang segar mengenai pendekatan kreatif dalam stakeholder engagement. “Tea and cake”, itulah istilah yang mereka namakan untuk proses konsultasi pascatambang di tambang China Clay (kaolin), Cornwall. Ringkasnya mereka menyelenggarakan suatu festival atau pesta rakyat dengan membangun stand-stand kecil yang didekorasi secara kreatif berdasarkan topik tertentu. Stakeholders (diantaranya komunitas sosial, sekolah, komunitas usaha) kemudian diundang untuk menghadiri festival tersebut dan didorong untuk bebas mengemukakan aspirasi, gagasan dan harapan terkait pasctambang. Media-media yang digunakan adalah question cards, voting stickers, penempelan bendera pada peta geografi lokal hingga pemilihan prioritas hal-hal yang penting bagi komunitasnya dengan alat bantu. Dalam kasus ini perusahaan dituntut untuk mendengar dan mencatat respon dari stakeholders.
Ide yang bisa kita jadikan pelajaran dari Eden Project ini adalah bagaimana stakeholder engagement bisa dilakukan dengan pendekatan kultural kreatif dan tidak hanya berbentuk sosialisasi atau rapat massal. Kita bisa merancang suatu proses konsultasi dengan gaya yang localized tanpa mengesampingkan aspek legalitas proses konsultasi tersebut.
Dari semua paparan makalah dalam sesi ini terdapat ide universal yang sama bahwa untuk mencapai stakeholder engagement yang sukses, proses konsultasi harus dilakukan secara:
•
Sedari dini dan sesering mungkin
•
Aktif membangun cara supaya stakeholders ikut merasa “memiliki” terhadap proyek tambang yang berlangsung
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 13
•
Memastikan bahwa komunikasi terbuka untuk semua dan jelas
•
Invest time, not just dollars
•
Listen first, talk later
•
Membiarkan stakeholders memutuskan hal apa yang penting untuk mereka
•
Adanya keinginan untuk mengubah rencana pascatambang seiring dengan arah proses konsultasi yang makin intensif
Mine Site Reclamation and Rehabilitation
Makalah dari J.A. Drake et al (2010) menawarkan konsep kerangka kerja (framework) rehabilitasi bentang alam (landscape) dalam rekayasa ekosistem pasctambang. Konsep tersebut dapat disederhanakan dalam satu akronim LFSC (landscape, function, structure and composition). Dalam satu desain ekosistem khususnya pascatambang, perlu mempertimbangkan empat dimensi kunci ini yaitu LFSC. Kerangka kerja ini ditujukan sebagai pendekatan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan rehabilitasi tambang. Kerangka kerja ini diklaim sudah mulai digunakan dalam industri dan direkomendasikan untuk digunakan oleh regulator dalam mengevaluasi pascatambang di negaranya masing-masing.
Dari ide kerangka kerja rehabilitasi tambang lahirlah topik kriteria keberhasilan reklamasi, sesuatu yang sangat penting dibahas oleh para praktisi dan juga regulator. Dalam makalah yang disajikan oleh S.R. Viert et al (2010), dipaparkan mengenai prosedur evaluasi reklamasi yang diterapkan oleh Barrick Gold Corp. di Kanowna Belle Mine, Australia Barat. Secara garis besar prosedur yang diterapkan adalah information control, evaluasi tanah, evaluasi kestabilan tanah, performa revegetasi, pelaporan yang konsisten dan informatif serta pengembangan dan kepatuhan terhadap kriteria keberhasilan reklamasi. Makalah ini menekankan vitalnya masalah pelaporan karena menyangkut feedback dan perbaikan seiring dengan proses reklamasi-revegetasi yang dilakukan. Melalui makalah ini disebutkan juga kriteria keberhasilan reklamasi yang digunakan adalah:
1.
Prediksi soil loss dari daerah reklamasi ≤ 110% dari prediksi soil loss daerah referensi serta tren erosi harus stabil
2.
Total ground cover di daerah reklamasi sekitar 60-90% dari total ground cover vegetasi di daerah referensi.
3.
Campuran bibit yang digunakan harus terdiri dari minimal 10 spesies yang umum ditemukan di daerah tersebut, mewakili 2 bentuk kehidupan dan sampel vegetasi penutup harus memenuhi satu dari dua uji sebagai berikut:
−−
Sampel mengandung 3 jenis rumput liar yang tidak berbahaya (non-noxious weed species) dengan komposisi lebih dari 2 persen.
−−
Sampel mengandung 50% jumlah rumput liar yang tidak berbahaya (non-noxious weed species) di daerah referensi dengan komposisi lebih dari 2 persen.
Terkait dengan masa pemantauan pascatambang, perlu diketahui juga bahwa banyak tambang di negara lain menerapkan waktu pemantauan pascatambang (post-closure monitoring) yang lama seperti contohnya Tambang Ok Tedi, Papua Nugini dengan waktu pemantauan selama 30 tahun. Begitu juga PT Freeport Indonesia yang ikut menyajikan makalah mengenai rencana pascatambangnya, menerapkan waktu pemantauan sekitar 50 tahun.
Temuan yang juga menarik adalah teknik penggunaan gipsum (CaSO4.2H2O) dan mulsa dalam rehabilitasi daerah lereng disimpulkan cukup efektif (pada tahapan awal) untuk meningkatkan komposisi kimia dan stabilitas tanah (J.K Smits et al, 2010). Untuk tahapan selanjutnya direkomendasikan untuk meningkatkan penggunaan gipsum per luasan hektarnya .
Phytostabilisation dan Phytoremediation
Sesi ini berbicara mengenai vegetasi lahan bekas tambang terutama di dua negara dengan tradisi tambang yang kuat yaitu Afrika Selatan dan Kanada. Afrika Selatan sebagai negeri yang kaya dengan sumberdaya mineralnya tengah giat melakukan penelitian mengenai potensi peruntukan lahan pascatambang khususnya perkebunan. Dua makalah dipaparkan pada konferensi ini, yang pertama mengenai identifikasi potensi ekonomi dan sisi keamanan konsumsi pada tumbuhan yang hidup di daerah tambang dan bekas tambang. Penelitian kedua adalah mengenai potensi ekonomi tumbuhan Anacardiaceae yang hidup di daerah tailing termasuk diantaranya mengenai waktu yang paling baik untuk melakukan panen tumbuhan tersebut.
Pengalaman yang menarik dipaparkan dalam makalah yang dibawakan oleh A.S Lock et al (2010).
14 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
Proyek yang dilakukan adalah mengubah daerah yang tadinya merupakan tailings impoundment menjadi lahan perkebunan sebagai sumber biofuel di daerah Ontario, Kanada. Tanaman yang digunakan adalah canola, jagung dan varietas rumput-rumputan lain yang merupakan bahan baku untuk biofuel. Cover atau sistem lapisan penutup tailing yang diterapkan adalah biosolids yang terdiri dari pulp and paper dengan kedalaman 0,5-1 m. Penelitian yang dilakukan menemukan fakta bahwa biosolids cover bertindak sebagai hydraulic barriers yang efektif yang membatasi penetrasi air menuju tailing sehingga menurunkan potensi terjadinya pelindian logam. Kunci keberhasilan proyek ini terletak pada pemilihan metode cover, ketebalan cover, pemilihan jenis tanaman dan karakteristik material cover.
Selain itu dibahas juga mengenai phytoremediasi menggunakan tumbuhan metallophytes, yaitu tumbuhan yang memiliki sifat toleransi, adaptasi dan survival tinggi di daerah yang terkontaminasi logam. Dan yang penting kita ketahui bahwa ternyata jenis-jenis metallophytes bisa dijumpai di Indonesia, misalkan Brackenridgea palustris, Phyllanthus insulae, Glochidion aff. acustylum dan Rinorea javanica.
Tailings Deposits Closure
Dalam konferensi ini terdapat pemaparan beberapa studi kasus pascatambang tailings deposit antara lain pascatambang tailings storage facility (TSF) di Australia Barat yang dipaparkan oleh K. Bonstrom et al (2010). Aspek kunci yang berusaha ditekankan dalam makalah ini adalah desain final landform, enhanced moisture store serta cover system. Beberapa kriteria kunci dalam hal desain cover juga dijelaskan dengan cukup rinci dalam paparan tersebut.
Paparan yang menarik juga disajikan oleh I. Jantzer et al (2010). Makalah ini mencoba menja-wab pertanyaan mendasar terkait desain konstruksi tailings dam yang dipersiapkan untuk jangka waktu yang lama, yaitu perhitungan besaran critical hydraulic gradients.
Dalam sesi ini juga dijelaskan mengenai Wetlands sebagai solusi untuk pascatambang tailing dams (M. Namba et al, 2010) yang menjelaskan mengenai studi kasus pascatambang tiga tailings dam di Minas Gerais, Brazil. Kesimpulan dari paparan ini adalah wetlands menjadi solusi alternatif pada pascatambang tailings deposit.
Legacy-based Framework for Mine Closure
Kerangka kerja berbasiskan peninggalan (legacies) pascatambang merupakan paradigma baru yang berkembang dari perhatian para stakeholders terhadap dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan proyek-proyek tambang. Sebagai hasil dari pergeseran kultur bisnis ini, perencanaan pasca-tambang telah berevolusi menuju suatu titik dimana dimensi sosial dan lingkungan ikut terintegrasi ke dalam daur hidup tambang (mine life cycle). Perencanaan pascatambang dimulai dari tahapan awal setiap proyek tambang dan saat ini dikenal sebagai bagian inheren dari desain konseptual tambang.
Bisnis ekstraksi sumberdaya alam atau lebih spesifiknya bisnis pertambangan didasari oleh efisiensi penggunaan dan konversi bahan galian dengan tujuan mengubah bahan galian menjadi komoditas. Tujuan utama dari perusahaan tambang adalah mengkapitalisasikan nilai bahan galian dalam rangka memaksimalkan return on investement (ROI). Namun, keberlanjutan dari bisnis pertambangan atau lebih khusus lagi perusahaan tambang, tidak hanya bergantung pada shareholder value tapi juga sangat bergantung pada reputasi perusahaan. Cara masyarakat menilai reputasi perusahaan tambang sekarang adalah dengan menilai kinerja pengelolaan lingkungan sepanjang operasi dan lebih jauh lagi dengan peninggalan/warisan (legacies) pascatambangnya. Perencanaan pascatambang yang progresif telah menjadi isu utama dan jalan utama bagi perusahaan tambang untuk mempertahankan reputasi dan mendapatkan social licence untuk beroperasi.
Sebagai penutup, penyelenggaraan konferensi ini mengingatkan kita bahwa pascatambang sudah menjadi isu dunia. Penulis mengajak stakeholders pertambangan Indonesia untuk menjadi bagian dari dinamika, pertukaran informasi/pengetahuan dan berbagi praktik terbaik di dalamnya. Dan tak lupa penulis ingatkan kembali untuk memandang rencana pascatambang dengan paradigma baru yaitu rencana pascatambang harus menjadi alat yang digunakan untuk meminimalisasi negative legacies dan memaksimalkan positive legacies.
Salam Hijau!!
Disusun, diterjemahkan dan dikompilasi dari Mine Closure 2010:
“Proceedings of the Fifth International Conference on Mine Closure”
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 15
Parlindungan Sitinjak, S.T.
(Calon Perencana pada Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi)
Energi untuk
Kini dan Akan Datang
Semua kegiatan menggunakan energi. Mulai
dari kegiatan bertani dan memanggang
hasil buruan melalui panas yang dihasilkan
dari gesekan batuan pada jaman kehidupan prasejarah,
hingga kegiatan bekerja, menonton televisi,
masakan yang disuguhkan di meja makan. Bahkan
untuk menghasilkan suhu ruangan yang sejuk pada
kehidupan masa kini tetap tidak terlepas dari keberaaan
energi.
Energi menjadi unsur penting kehidupan umat
manusia dan menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan
itu sendiri. Pada sisi lain, berkembangnya
jumlah penduduk dunia diikuti oleh kebutuhan
energi yang semakin besar pula. Umat manusia
berlomba-lomba untuk mencari sumber energi.
Awalnya perlombaan energi terjadi pada energi
fosil, seperti minyak, gas dan batubara. Ternyata,
sumber energi fosil yang tidak terbarukan (unrenewable)
dirasakan masih belum cukup. Ditambah
lagi dengan isu pemanasan global akibat emisi
gas karbon, mendorong manusia mencari sumber
energi non fosil yang terbarukan (renewable). Contohnya,
air, angin, bahan bakar nabati, panas bumi
dan uranium.
Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional
memiliki peran dan tanggungjawab
dalam penggunaan energi. Indonesia dikenal sebagai
negara yang memiliki sumber daya energi
yang besar antara lain: minyak bumi, gas bumi, batubara,
air, dan panas bumi yang dapat dilihat pada
berikut.
Tabel Sumber Daya dan Cadangan Energi Indonesia
NO ENERGI FOSIL SUMBER DAYA CADANGAN
1 Minyak Bumi (miliar barel) 56,6 8,2
2 Gas Bumi (TSCF) 334,5 170
3 Batubara (miliar ton) 104,76 20,98
4 Coal Bed Methane/CBM
(TSCF)
453 -
5 Tenaga Air 75.670 MW 4.200 MW
ARTIKEL MINERBAPABUM
16 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
NO
ENERGI FOSIL
SUMBER DAYA
CADANGAN
6
Panas Bumi
27.670 MW
1.052 MW
7
Mini/Micro Hydro
500 MW
86,1 MW
8
Biomass
49.810 MW
445 MW
9
Tenaga Surya
4,80 KWH/M2/hari
12,1 MW
10
Tenaga Angin
9.290 MW
1,1 MW
11
Uranium
3.000 MW
30 MW
Selain dikenal sebagai negara dengan sumber daya energi yang melimpah, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta (BPS, 2010). Jumlah penduduk yang besar ini tentu membutuhkan energi yang besar juga. Akibatnya, pemerintah harus menjamin ketersediaan energi bagi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dan untuk pembangunan.
Selain faktor jumlah penduduk dan kebutuhan sumber daya energi, penggunaan energi oleh masyarakat Indonesia saat ini dipengaruhi juga oleh budaya penggunaan energi yang kurang efisien. Hal ini ditandai dengan nilai intensitas energi Indonesia yang tinggi yakti: 401 TOE (ton oil equivalent). Indeks ini relatif tinggi bila dibandingkan dengan Malaysia 335 TOE/juta dolar AS dan negara maju yang tergabung dalam OECD 136 TOE/juta dolar AS.
Intensitas energi adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) atau produk domestik bruto. Dengan kata lain, semakin efisien suatu negara ditunjukan dengan intensitas energi yang semakin kecil. Perbandingan nilai intensitas energi pada beberapa negara dapat dilihat pada grafik di atas.
Pemakaian energi di Indonesia menurut sektor untuk tahun 2006 didominasi oleh tiga sektor utama yaitu: sektor industri 41%, diikuti sektor transportasi 38%, dan sektor rumah tangga 21% yang secara rinci untuk periode tahun 2000-2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel Persentase Pemakaian Energi Menurut Sektor Tahun 2000-2006
TAHUN
INDUSTRI
RUMAH TANGGA
TRANSPORTASI
2000
36,40
26,95
36,65
2001
38,71
24,98
36,30
2002
40,58
23,90
35,52
2003
38,47
23,51
38,01
2004
39,08
22,39
38,53
2005
39,36
22,09
38,55
2006
40,61
21,45
37,94
(Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Kementerian ESDM)
0.001.002.003.004.005.006.000501002503003504501502004002.743.300.970.381.485.473.16Konsumsi per KapitaIntensitas Energi
Intensitas Energi dan Konsumsi per Kapita
(Rencana Strategis Kementerian ESDM, 2010)
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 17
Permasalahan
Sumber daya energi yang ada harus dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kita saat
kini dan anak cucu kita yang akan datang. Kehidupan
anak cucu kita untuk masa yang akan datang
juga memerlukan energi untuk peradaban kehidupannya.
Kemampuan daya dukung lingkungan
bumi dengan berbagai aktivitas manusia juga semakin
berkurang.
Budaya melakukan konservasi energi merupakan
upaya yang dapat dilakukan dari hal-hal
sederhana dan menjadi gaya hidup (lifestyle) oleh
seluruh stakeholder. Mulai dari pribadi, keluarga,
masyarakat, pelaku usaha penghasil energi, dan
pelaku usaha pengguna energi sesuai perannya
masing-masing. Konservasi energi akan mengupas
permasalahan yang diinventarisir terbagi menjadi
tiga aspek konservasi yaitu pada:
1. Aspek penyediaan energi (sisi hulu)
Permasalahan aspek penyediaan energi antara lain:
keterdapatan sumber daya energi, sumber daya
energi kualitas rendah/marginal, tingginya biaya
ekplorasi sumber energi, proses penambangan,
teknologi penambangan, kehilangan (losses) saat
pengolahan dan pengangkutan energi
2. Aspek penggunaan energi (sisi hilir)
Permasalahan aspek penggunaan energi antara
lain: jarak lokasi pengguna energi dengan sumber
energi yang jauh, teknologi mesin pengguna energi
terutama industri dan pembangkit listrik, harga
pembelian energi di dalam negeri relatif lebih rendah
dibanding harga ekspor, pengalokasian subsidi
energi kepada kelompok masyarakat yang tidak tepat,
dan terbatasnya infrastruktur energi
3. Aspek gaya hidup (sisi budaya)
Permasalahan aspek gaya hidup penggunaan energi
merupakan permasalahan yang kerap kita
alami dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan
aspek gaya hidup antara lain: penggunaan lampu
yang dibiarkan menyala meski tidak digunakan, budaya
penggunaan kendaraan pribadi, penyesuaian
penggunaan jenis bahan bakar ke energi yang lebih
murah, dan harga energi yang murah.
Analisis Permasalah
Permasalahan akan dianalisis dengan menggunakan
Analisis SWOT. Analisis SWOT adalah metoda
analisis untuk melihat suatu permasalahan/topik
dengan cara pandang dari empat sisi yaitu: kekuatan
(strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities), dan ancaman (threats). Analisis ini
dibuat oleh Albert Humprey saat memimpin proyek
riset di Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-
an dan 1970-an dengan menggunakan data perusahaan-
perusahaan Fortune 500 (wikipedia.org).
Analisis SWOT dalam permasalahan konservasi
energi ini diawali dengan menetapkan tujuan
analisis yaitu: mengembangkan konservasi energi
bagi pribadi, keluarga, masyarakat, pelaku usaha
penghasil energi dan pelaku usaha pengguna energi
mendukung energi untuk kini dan yang akan
datang.
Analisis SWOT dilakukan dengan mengidentifikasi
faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor
yang tidak mendukung dalam pencapaian tujuan
konservasi energi sebagaimana diuraikan masingmasing
sebagai berikut.
1. Analisis SWOT pada Aspek Penyediaan Energi
(sisi hulu)
Berdasarkan tabel SWOT yang ada di halaman
setelah ini, konservasi energi pada aspek penyediaan
energi dilakukan melalui:
1. Meningkatkan sumber daya energi yang dimiliki
dengan mendorong kegiatan eksplorasi dan
memanfaatkan teknologi eksplorasi
2. Memanfaatkan letak strategis Indonesia dalam
mengekspor energi
Strengths Weaknesses
Opportunities Threats
Bagan Analisis SWOT
18 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
3. Mendorong pemanfaatan sumber daya energi
kualitas rendah/marginal dengan melakukan
pencampuran (blending) antara sumber daya
kualitas tinggi dengan kualitas rendah sehingga
semua sumber daya dapat dimanfaatkan dan tidak
terbuang
4. Mengurangi kehilangan (losses) saat penambangan,
pengolahan dan pengangkutan energi
5. Memanfaatkan energi dengan prioritas pada
daerah terdekat dari sumber energi
6. Mengembangkan energi panas bumi yang ramah
lingkungan
7. Mendorong penyesuaian harga BBM dengan
harga pasar Internasional sehingga tidak mengganggu
keuangan negara
8. Menjamin cadangan (stock) energi nasional sebagai
penyangga kebutuhan energi
Strengths
a. Sumber daya energi banyak
b. Letak Indonesia strategis di antara kawasan Asia
dan Pasifik
Weaknesses
a. Masih bertumpu pada sumber daya fosil
b. Keterdapatan sumber daya energi di daerah terpencil
c. Rendahnya kegiatan eksplorasi
d. Kehilangan (losses) saat penambangan, pengolahan
dan pengangkutan bahan energi
Opportunities
a. Sumber daya energi kualitas rendah/marginal
dan banyak dan belum optimalkan
b. Penggunaan teknik penambangan yang baik
dan benar dan teknologi eksplorasi
c. Penggunaan energi panas bumi untuk mendukung
pengurangan emisi karbon
Threats
a. Fluktuasi harga minyak bumi di pasar internasional
b. Semakin menipisnya cadangan BBM meningkatkan
impor BBM
Tabel Analisis SWOT Aspek Penyediaan Energi (Sisi Hulu)
Strengths
a. Pengguna energi dapat memilih jenis energi
b. Pertumbuhan ekonomi memerlukan energi
c. Program percepatan listrik 10.000 MW Tahap I
dan 10.000 MW Tahap II
Weaknesses
a. Jarak lokasi pengguna energi dengan sumber energi
jauh
b. Harga pembelian energi industri dalam negeri
relatif lebih rendah
c. Terbatasnya infrastruktur energi
Opportunities
a. Pengembangan teknologi industri dan pembangkit
listrik yang hemat energi
b. Swasembada energi sesuai kondisi lokal
c. Pemanfaatan energi untuk industri dalam meningkatkan
nilai tambah produk industri
Threats
a. Dominasi BBM sebagai bahan bakar listrik
b. Alokasi subsidi BBM yang kurang tepat
c. Subsidi BBM mendorong pemborosan energi
Tabel Analisis SWOT Aspek Penggunaan Energi (Sisi Hilir)
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 19
2. Analisis SWOT pada Aspek Penggunaan Energi
(sisi hilir)
Berdasarkan tabel SWOT di atas, konservasi energi
pada aspek penggunaan energi dilakukan melalui :
1. Pengguna energi memilih jenis energi yang paling
ekonomis sesuai dengan keterdapatan energi
dan harga energi
2. Memanfaatkan program percepatan listrik
10.000 MW untuk mendukung industri sehingga
meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat
dan negara
3. Menyediakan infrastruktur energi sehingga
dapat mengurangi biaya investasi dan biaya
pengangkutan yang harus dikeluarkan oleh investor
4. Mendorong pengembangan dan pemanfaatan
teknologi industri dan pembangkit listrik yang
hemat energi
5. Swasembada energi sesuai kondisi lokal pada
masing-masing wilayah
6. Mengurangi dominasi BBM sebagai bahan bakar
listrik
7. Mendorong keekonomian harga BBM sehingga
mengurangi pemborosan energi
3. Analisis SWOT pada Aspek Gaya Hidup (sisi
budaya)
Berdasarkan tabel SWOT di atas, konservasi energi
pada aspek gaya hidup dilakukan melalui :
1. Meningkatkan dan memperluas jangkauan
kampanye penghematan energi bagi keperluan
pribadi, keluarga dan masyarakat
2. Meningkatkan sarana kendaraan umum yang
bersih dan nyaman untuk mengurangi penggunaan
kendaraan pribadi
3. Membatasi jumlah kendaraan yang dapat dimiliki
oleh suatu keluarga misalnya: peningkatan
nilai pajak secara signifikan pada kenderaan
kedua dan selanjutnya
4. Mendorong keekonomian harga BBM sehingga
mengurangi pemborosan energi
5. Mendorong pengawasan pada penggunaan gas
sebagai pengalihan dari minyak tanah terutama
bagi rumah tangga
6. Mengembangkan teknologi transportasi, alat
elektronika dan alat penerangan yang semakin
efisien dan hemat energi
7. Mendorong penggunaan batik sebagai pengganti
jas dalam pertemuan masyarakat dan nasional
sehingga mengurangi energi listrik yang
dibutuhkan untuk pendingin ruangan.
Penutup
Kesadaran untuk melakukan konservasi energi oleh
seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) mulai
Strengths
a. pemandaman listrik tertentu (earth hour)
b. energi sebagai penggerak usaha wiraswasta
c. kebiasaan berkumpul bersama
Weaknesses
a. kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi
b. lampu yang dibiarkan menyala
c. kemacetan di jalan raya
Opportunities
a. pengalihan minyak tanah ke gas
b. penggunaan transportasi, alat elektronika dan
alat penerangan yang hemat energi
c. penggunaan batik sebagai pengganti jas dalam
pertemuan masyarakat dan nasional
Threats
a. harga energi yang murah
b. alokasi subsidi BBM yang kurang tepat
c. pemborosan energi BBM
Tabel Analisis SWOT pada Aspek Gaya Hidup (Sisi Budaya)
20 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
dari pribadi, keluarga, masyarakat, pelaku usaha
penghasil energi, dan pelaku usaha pengguna
energi sesuai perannya masing-masing akan
mendukung pencapaian energi untuk kehidupan
kini dan akan datang. Budaya melakukan
konservasi energi dilakukan mulai dari hal-hal
sederhana oleh seluruh pemangku kepentingan
pada 3 aspek yaitu: konservasi penyedia energi,
konservasi pengguna energi, dan konservasi
gaya hidup.
Sehingga, suatu ketika nanti pada masa
yang akan datang, sama seperti nenek moyang
kita dahulu membagi sumber daya energi agar
dapat kita nikmati kini, anak cucu kita pada masa
yang akan datang dapat menikmati kebahagian
yang sama dengan yang kita nikmati saat ini.
Kebahagiaan anak cucu kita akan datang adalah
peran dari kita kini.
Semoga.
… Penyediaan Energi
… Penggunaan Energi
… Gaya Hidup
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 21
Dalam UU No. 23 Tahun 2007, tentang
Perkeretaapian, disebutkan bahwa “transportasi
mempunyai peranan penting dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan
wilayah dan pemersatu NKRI....” Disebutkan juga
“perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi
dalam sistem transportasi nasional yang mempunyai
karakteristik tersendiri...”.
Kereta api menjadi salah satu sarana yang ikut
berperan penting mengembangkan perekonomian.
Karena itu, kebijakan pemerintahmengenai
pembangunan rel kereta api angkutan batubara
menjadi sangat strategis. Kali ini penulis mencoba
mengurai analisa kebijakan pembangunan rel kereta
api Purukcahu–Bangkuang Kalimantan Tengah.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No.
32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah,
dan juga dengan peraturan pelaksananya melalui
PP No. 38 Tahun 2007, tentang pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/
Kota, khususnya pada pasal 7 ayat (2). Disebutkan
bahwa perihal pembangunan sarana kereta
api menjadi urusan wajib yang harus diselenggarakan
oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun
kabupaten/kota.
Secara umum, kedua undang-undang terse-
Analisa Kebijakan
Pembangunan Rel Kereta Api Puruk
Cahu–Bangkuang, Kalteng
I Made Edy Suryana, ST
(Staf Pembinaan Program Mineral, Batubara dan Panas Bumi)
ARTIKEL MINERBAPABUM
22 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
but menyiratkan bahwa pembangunan rel kereta
api merupakan bagian dari upaya meningkatkan
perekonomian daerah, membuka lebih banyak lapangan
pekerjaan, menjadi bagian dari pengembangan
wilayah, dan pemersatu wilayah-wilayah di
Kalimantan Tengah.
Secara khusus, pembangunan rel kereta api
Purukcahu-Bangkuang ditujukan untuk meningkatkan
jumlah produksi batubara dari Kalimantan
Tengah.
Dalam skema pembiayaan pembangunan rel
kereta api, terbuka peluang kerjasama dengan sektor
swasta. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden
(Perpres) No. 67/2005 mengenai kerjasama pemerintah
dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur.
Dalam Perpres tersebut disebutkan “bahwa
untuk mendorong dan meningkatkan kerjasama
antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan
infrastruktur dan jasa pelayanan terkait, perlu
pengaturan guna melindungi dan mengamankan kepentingan
konsumen, masyarakat, dan badan usaha
secara adil”. Oleh karena itu, skema pembiayaan
proyek pembangunan kereta api Purukcahu–Bangkuang
ini lebih tepat menggunakan model kerjasama
antara pemerintah dengan swasta, atau biasa
disebut dengan public private partnership (PPP).
Dalam dokumen resminya mengenai investasi
global dalam sektor infrastruktur, Ernest and Young
(2007) menyebutkan bahwa rata-rata kebutuhan
investasi untuk infrastruktur rel kereta api dunia
dalam kurun waktu 2020–2030 adalah US$ 58 triliun
atau setara dengan 580.000 triliun rupiah (asumsi
Rp 10.000/US$). Data ini diambil dari hasil penelitiannya
pada negara Brasil, Rusia, China, dan India.
Pemerintah, melalui Bappenas, menyampaikan
bahwa untuk melakukan pembangunan seluruh
infrastruktur di Indonesia dalam jangka waktu
lima tahun ke depan (2010-2014), diperlukan dana
sebesar 1.900 triliun rupiah. Jika dibandingkan dengan
nilai yang dipublikasikan Ernest and Young
(2007) tersebut, kebutuhan total infrastruktur Indonesia
hanya 0,655 persen dari investasi infrastruktur
kereta api seluruh dunia. Sementara, kemampuan
pendanaan pemerintah hanya sebesar 365 triliun
rupiah saja. Oleh karena itu, peran serta swasta mutlak
diperlukan apabila Indonesia hendak mengembangkan
infrastrukturnya.
Terkait dengan rencana pembangunan rel
kereta api angkutan batubara tersebut, sampai saat
ini pemerintah masih melakukan promosi untuk
memperoleh investor bagi proyek tersebut.
Tantangan Implementasi Proyek
Jean Benard pernah mempublikasikan penelitiannya
dalam “Economie Publique“, Economica, Paris
1985. Ia meneliti aspek ekonomi kereta cepat di
Perancis, atau yang lebih populer dengan sebutan
Train à Grande Vitesse (TGV). Aspek orisinil dari
penelitiannya terletak pada adanya evaluasi penerimaan
dan penghematan akibat penggunaan TGV.
Hal yang sama dapat pula diterapkan pada proyek
rel kereta api Purukcahu–Bangkuang ini.
Mengikuti model Jean Benard, hal yang perlu
diperhatikan aspek penerimaan dan penghematan.
Bagaimana sisi penerimaan bagi pemerintah dan
swasta yang menjadi investornya. Begitu juga dengan
sisi penghematan, bagaimana penghematan
yang dapat dilakukan perusahaan pertambangan
batubara di Kalimantan Tengah dengan adanya infrastruktur
kereta api dibandingkan dengan sarana
angkutan yang sudah ada.
Tantangan yang muncul adalah adanya peredisi
8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 23
bedaaan yang timbul antara biaya angkut yang
ditawarkan dengan harga yang dikehendaki oleh
perusahaan. Ini akan mengakibatkan sulitnya
memperoleh nilai keseimbangan antara harga
penawaran dengan harga permintaannya. Disamping
itu, Perpres No 67/2005 juga mengamanatkan
“....perlu pengaturan guna melindungi dan mengamankan
kepentingan konsumen, masyarakat, dan
badan usaha secara adil”.
Dengan mengadopsi metode analisa Jean Benard,
kita dapat melihat hal ini dari sudut pandang
rentabilitas privat proyek dan rentabilitas sosial.
Rentabilitas privat proyek adalah melihat
semua perhitungan biaya dan keuntungan dari
sisi investor penyedia sarana kereta api (kerjasama
antara pemerintah dan swasta). Meskipun pemerintah
ikut terlibat dalam pembangunannya, tentunya
sudah sebagai bentuk badan usaha sehingga
tujuan yang hendak dicapai adalah keuntungan
sebagaimana halnya badan privat. Kita tidak akan
membahas aspek keuangannya, namun akan melihat
bahwa dari sisi privat, sebagai penyedia kereta
api angkutan batubara tersebut maka ongkos angkut
setiap ton batubara perkilometer adalah US$
22$ per-ton sepanjang 185 km (berdasarkan hasil
kajian yang disampaikan oleh Bappenas). Angka
tersebut merupakan harga keekonomian proyek
ini.
Sedangkan dari sisi rentabilitas sosial, akan
menyangkut tiga aspek:
a) Surplus Produsen (penyedia jasa angkutan
rel kereta api angkutan batubara/perusahaan
PPP):
b) Surplus Konsumen (perusahaan PKP2B, sebagai
calon pengguna rel kereta api angkutan
batubara Purukcahu – Bangkuang), dan
c) Surplus Negara (pemerintah).
Marshallien, untuk menghitung surplus konsumen
dalam kasus penyediaan barang publik, ia
membuat kurva permintaan perjalanan sebagai
fungsi biaya. Sedangkan dalam kasus penelitian ini
adalah sebagai barang privat. Surplus konsumen
bersumber pada dua hal, yaitu kuantitas dan variasi
biaya angkutnya. Dengan memperhatikan hal
ini, ada perbedaan harga antara WTP dengan biaya
penawaran (US$ 22 per-ton sepanjang 185 km).
Oleh karena itu perlu perhitungan penyesuaian
lagi.
Dari sisi surplus negara, akan terdapat variasi
penerimaan pajak sebagai akibat adanya proyek
rel kereta api Purukcahu-Bangkuang ini. Pajak tidak
hanya diterima dari angkutan sungai saja, namun
juga dari angkutan kereta api. Dari aspek ini yang
perlu untuk diperhatikan adalah seberapa besar
peningkatan penerimaaan negara yang akan diperoleh
jika proyek rel kereta api angkutan batubara
Purukcahu-Bangkuang dilaksanakan. Selanjutnya,
bagaimana pula dampaknya terhadap jasa angkutan
sungai yang selama ini telah berlangsung.
Perbedaan nilai (margin) inilah yang menjadi
tantangan terbesar. Perbedaan yang dimaksud
adalah nilai penawaran dari penyedia jasa (investor
dan pemerintah) dengan kemauan dan kemampuan
pengguna (perusahaan pertambangan batubara).
Kita sebut sebagai tantangan, jika kita tidak
ingin menganggapnya sebagai masalah. Sebaiknya
kita selalu berpikir positif memandang suatu kendala.
Atas perbedaan nilai margin tersebut harus
dicari titik temunya.
Sebagaimana umumnya model pembiayaan
dengan skema PPP, terlebih lagi untuk infrastruktur
yang bersifat yang terkait publik, maka akan muncul
berbagai permasalahan atau lebih tepatnya
risiko. Salah satu risiko yang harus diperhitungkan
adalah kepastian usaha dalam jangka yang sangat
panjang. Dalam model PPP pihak swasta tidak
menjadi pemilik lahan, namun hanya terlibat dalam
model penyewaan jangka panjang (20-30 tahun).
Risiko berikutnya adalah revenue risk/demand risk,
yaitu resiko perolehan investor terkait dengan perbedaan
yang akan muncul antara nilai penawaran
yang tinggi dengan nilai willingness to pay konsumen
yang jauh lebih rendah karena menganggap
infrastruktur tersebut sebagai bagian dari barang
publik.
Selain itu, risiko yang tak kalah penting adalah
political risk. Segala bentuk investasi yang berjalan
akan membutuhkan kemauan politik yang baik.
Dalam kasus proyek pembangunan rel kereta api
angkutan batubara Purukcahu-Bangkuang, political
will dari pemerintah, terlebih pemerintah daerah
harus dapat diciptakan untuk dapat mengutamakan
kepentingan secara nasional dan jangka
panjang. Nilai yang harus dipegang adalah bahwa
manfaat proyek ini bermuara kepada peningkatan
perekonomian masyarakat dan kesejahteraan penduduk.
24 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
Dampak Positif
Sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2007,
tentang Perkeretaapian, menyebutkan bahwa
kereta api sebagai sarana angkutan orang maupun
barang, dikuasai oleh negara dan pembinaanya
dilakukan oleh pemerintah yang dilaksanakan
oleh Kementerian Perhubungan RI. Berhubung kewenangan
terkait dengan hubungan luar negeri
dan keuangan negara adalah urusan dari pemerintah,
maka pada sisi inilah pemerintah dapat mengambil
peranan, yaitu terus mendorong promosi
investasi. Pemerintah dapat mengundang investorinvestor
luar negeri untuk datang melihat peluang
investasi pembangunan infrastruktur kereta api ini
serta dengan memberikan berbagai bentuk insentif
dan kebijakan pendukungnya sehingga implementasi
dari proyek rel kereta api Purukcahu-Bangkunag
ini dapat berjalan.
Sedangkan peran pemerintah daerah adalah
turut mengembangkan dengan menjaga dan menyiapkan
sumberdaya manusia untuk pengelolaan
perkeretaapian kedepannya. Sebab, infrastruktur
kereta api tersebut berada di daerah. Kerjasama
strategis antara pemerintah dengan pemerintah
daerah adalah terkait dengan penyediaan dan
pembebasan lahan.
Adapun peran pihak swasta, baik dari sisi investor
maupun penggunanya, dapat saling mendukung
dan melakukan adjusment terhadap biayabiaya
dari sisi penyedia maupun pengguna.
Untuk menarik pihak investor, dapat dilakukan
dengan berbagai bentuk kebijakan insentif
maupun kelonggaran peraturan dan pembebasan
lahan. Dengan demikian, seharusnya biaya yang
ditawarkan dapat diturunkan dengan menambah
umur proyeknya.
Sedangkan perusahaan pertambangan batubara
dapat menggunakan partisipasinya sebagai
pengguna adalah bagian dari upaya untuk ikut
mempercepat pertumbuhan perekonomian di daerah
Kalimantan Tengah. Bentuk partisipasi ini merupakan
bagian dari kepedulian perusahaan terhadap
pengembangan daerah, melalui dukungannya
terhadap program pemerintah.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di
atas, maka terdapat beberapa keuntungan yang
akan diperoleh negara dengan pembangunan rel
kereta api Purukcahu–Bangkuang ini, antara lain
adalah:
1. Dengan meningkatnya produksi maka penerimaan
negara dari batubara serta pajak-pajaknya
juga akan meningkat;
2. Menjadi bagian upaya untuk mempercepat
pertumbuhan perekonomian di Kalimantan
Tengah, sehingga akan memberikan implikasi
berupa peningkatan penyerapan tenaga kerja
dan penerimaan daerah; dan
3. Merupakan bagian dari program pengembangan
daerah dan pemersatu wilayah-wilayah di
Kalimantan Tengah, maupun keseluruhan Kalimantan.
Semoga investasi infrastruktur rel kereta api
Purukcahu–Bangkuang ini membawa dampak signifikan
bagi kemajuan perekonomian Kalimantan
Tengah.
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 25
Peningkatan
Nilai Tambah Pertambangan
Visi KESDM
“Terwujudnya sektor energi dan sumber daya mineral yang menghasilkan
nilai tambah sebagai salah satu sumber kemakmuran rakyat melalui
pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan, adil, transparan,
bertanggungjawab, efisien serta sesuai standar etika yang tinggi”
Pada visi KESDM tersebut, terdapat beberapa kata kunci yang akan menjadi dasar dalam penyu-
Ir.R.Yunianto Revolida
(Kasie Program Minerba)
ARTIKEL MINERBAPABUM
26 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
sunan cetak biru pengelolaan sumberdaya mineral logam, yaitu:
1.Nilai Tambah
2.Pembangunan Berkelanjutan
3.Ramah Lingkungan
Identifikasi Masalah Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan memiliki karakteristik yang berbeda dengan industri lain, terutama dalam hal:
1. Sektor pertambangan merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable) sehingga cadangan yang dieksploitasi suatu saat akan habis dan jika tidak ditemukannya cadangan baru maka usaha dibidang per-tambangan akan tutup.
2. Lokasi kegiatan pertambangan pada umumnya berada di daerah pedalaman yang terpencil, sehingga sara dan prasarana sangat minim, dan seringkali harus bersinggungan langsung dan tidak langsung dengan masayarakat asli yang umumnya belum terperhatikan oleh pemerintah daerah setempat.
3. Berisiko tinggi (high risk), tingkat keberhasilan eksplorasi sangat rendah (antara 2-5%) dan tergolong kegiatan yang lambat menghasilkan. untuk sampai pada tahap kegiatan operasi produksi dibutuhkan sekitar 5-7 tahun.
Hampir sebagian besar cadangan terletak di bawah permukaan tanah. Hal ini membawa implikasi sebagai berikut:
1. Tumpamg tindih dengan kegiatan lainnya, se-perti kehutan, perkebunan dan sebagainya.
2. Berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang luas.
3. Resiko kecelakaan kerja tinggi, sehingga membutuhkan budaya kerja dengan disiplin kerja yangh tinggi dan taat menjalankan prosedur kerja.
4. Membutuhkan peralatan berteknologi tinggi yang relatif padat modal untuk melakukan kegiatannya, baik eksplorasi maupun operasi produksi hingga komoditas akhir.
Kendala/permasalahan di sektor Pertambangan dapat dikelompokkan ke dalam lima masalah besar, yaitu:
1. Peningkatan nilai tambah pertambangan,
2. Hubungan perusahaan dengan lingkungan so-sial sekitar,
3. Hubungan pemerintah dan pemerintah daerah kurang harmonis,
4. Kebijakan fiskal dan kepastian hukum, dan
5. Ketidakpaduan antar sektor
Ketidakpaduan antar sektor utamanya dapat dilihat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Permasalahan umum yang sering terjadi berkaitan dengan masalah tumpang tindih peraturan perundang-undangan (overlapping), pengabaian karakteristik kegiatan usaha pertambangan dan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (conflict of laws)
Klasifikasi Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan
Beberapa kasifikasi Peningkatan Nilai Tambah Per-tambangan antara lain;
1. Jenis bahan galian (mineral logam, non logam dan batuan).
2. Produk nilai tambah akhir sebagai bahan baku (umpan/feed) pada industri selanjutnya.
3. Mineral ikutan (associated minerals) dalam upaya konservasi sumber daya mineral.
4. Produk nilai tambah di hulu (pertambangan) dan produk nilai tambah di hilir (perindustrian).
Kondisi yang Diharapkan
Kondisi yang diharapkan pada kebijakan pengelolaan mineral logam, non logam dan batuan adalah adanya peningkatan nilai tambah bagi bahan galian tambang itu sendiri.
Pengertian nilai tambah yang umum dikenal di kalangan yang menggunakan parameter ekonomi sebagai acuan adalah perbedaan antara nilai outedisi
8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 27
put dan nilai input atau peningkatan harga material
yang dihasilkan dari proses pengolahan bahan
galian tambang.
Sementara itu, pengertian nilai tambah juga
dikaitkan dengan kepentingan lain yang lebih luas,
seperti peningkatan GDP, peningkatan lapangan
kerja baru, multiplier effect sektor pertambangan,
penguasaan IPTEK, kemudahan dan kecepatan
proses, serta peningkatan ketahanan nasional.
Oleh karena itu, setiap manfaat ekonomi, sosial dan
peradaban yang dihasilkan dari kegiatan produksi
(pengolahan bahan galian tambang lebih lanjut)
dikategorikan sebagai peningkatan nilai tambah.
Isu peningkatan nilai tambah hasil tambang
telah lama menggema meskipun hanya dikalangan
terbatas. Kesadaran bahwa bahan galian tambang
perlu diolah terlebih dahulu agar terjadi peningkatan
nilai tambah secara maksimal di dalam negeri
dan tidak diekspor dalam bentuk raw material sebenarnya
telah lama disadari. Namun, kesadaran
akan pentingnya peningkatan nilai tambah hasil
tambang ini semakin menguat akhir-akhir ini. Peluang
agar terjadi peningkatan pendapatan baik
daerah maupun pusat, peningkatan kesempatan
kerja, dorongan terhadap terciptanya peluan usaha
di sektor lain, penguasaan ilmu dan teknologi dan
mengurangi ketergantungan dari luar negeri dalam
hal penyedsiaan bahan baku untuk industri hilir
yang bahan dasarnya tersedia sebagai bahan tambang
di Indonesia, dirasakan sangat mendesak.
Beberapa kalangan dengan tegas mengatakan
untuk secepatnya melarang ekspor bahan galian
tambang secara langsung ke luar negeri. Sebab,
pada dasarnya kegiatan itu hanya menguntungkan
bagi pengimpor karena mendapat kesempatan
usaha peningkatan nilai tambah di negaranya.
Sementara, Indonesia hanya mendapatkan penghasilan
dari penjualan bahan tambang saja dalam
bentuk raw material. Sayangnya, usaha peningkatan
nilai tambah hasil tambang di Indonesia nampaknya
belum sepenuhnya dapat berjalan dengan
baik karena beberapa kendala. Beberapa kendala
utama adalah :
• Belum ada kajian yang komprehensif mengenai
rantai kebutuhan dan penyediaan bahan untuk
produksi barang jadi di Indonesia.
• Belum ada kajian mengenai peluang yang dapat
dilakukan bagi bahan tambang di Indonesia untuk
ditingkatkan nilai tambahnya.
• Belum terbangunnya kesadaran akan manfaat
dan pentingnya usaha peningkatan nilai tambah
bahan galian tambang di dalam negeri
pada semua pemangku kepentingan.
Upaya peningkatan nilai tambah produk tambang
adalah upaya untuk memproses lebih lanjut
produk-produk industri pertambangan di Indonesia,
untuk menghasilkan produk antara atau diversifikasi
produk-produk yang sudah ada. Sehingga,
kegiatan ini dapat meningkatkan pendapatan devisa
bagi negara. Dalam konteks isu industri pertambangan
yang menjual raw material, menjual tanah
air, ini disinyalir karena sentuhan kemampuan
teknologi di Indonesia belum optimal. Padahal banyak
potensi variatif kandungan unsur/mineral lain
didalamnya. Selama ini banyak kandungan unsurunsur
berharga atau produk-produk derivat lainnya
yang dinikmati negara pengimpor raw material.
Proses added value ini tidak terlepas dari alur
proses pengolahan dan ekstraksi bahan galian tambang
terutama bijih yang telah cukup lama dikenal
dalam kegiatan industri metalurgi. Secara skematis
jalur utama proses pengolahan bahan galian bijih
ditunjukkan dalam ilustrasi siklus (life cylce) bahan
tambang mineral.
LIFE CYCLE
(Dari proses dan produksi berbasis mineral dan logam)
Pada pandangan konvensional semua jalur
proses diarahkan menjadi hasil akhir logam murni
atau paduannya. Masing-masing tahap pemrosesan
tersebut memiliki tingkat pertambahan kualiiMning
and Quriraiyng
Mirlnea
Processing
Slitmeng &
ifRening
Seim-Faibrcated
Faibrctaed Patrs & Prats
iSlmerp Podtcus
rPodutc
Assembly
Otrhe
matireals
CONSUIMPT/ONUSE
Rterun t othe einrvonmetn
RECYCLE
-REUSE
28 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
tas dari produk yang dihasilkannya. Meskipun hanya pengolahan mineral seperti pencucian (washing) dan pengayakan (screening) pada mineral aluvial, bisa dimungkinkan terjadi peningkatan nilai tambahnya karena pengurangan kandungan clay-nya dan mineral berharga terkonsentrasi pada fraksi ukuran tertentu. Peran sampling dan analisisnya sangat menentukan dalam merancang langkah-langkah pengolahan yang tepat. Proses ekstraksi lebih lanjut yang melibatkan proses kimia dan/atau temperatur tinggi pada umumnya memerlukan investasi yang besar sehingga perlu dipertimbangkan keekonomiannya apabila skala produksinya cukup besar.
Ada beberapa contoh flow chart proses pengolahan mineral logam dan kemunkinan peningkatan nilai tambahnya seperti diagram berikut ini.
Produksi Besi & Kemungkinan PNTBijih Besi PrimerBijih Besi LateritPasir BesiIlmenitPig IronSponge IronReduced IronTitaniumTi-oxidesSteelsCast Irons/Cast SteelsTitaniumAlloysAlloying ElementPigment &CeramicsFlat & rolledproductsProfilledproductsRods & WiresCast products: Jenis produk yang telah dihasilkan di dalam negeri: Jenis produk yang belum dihasilkan di dalam negeriProduksi Aluminium & Kemungkinan PNTBAUXITEAl Alloys(Al+Cu+Al+Sl)Al foilPlate, barElectrical conductorChemical refractories,etsUltra finesNano size alumina: Jenis produk yang telah dihasilkan di dalam negeri: Jenis produk yang belum dihasilkan di dalam negeriPROSESBAYERSmeltingGrade Al2O3ChemicalGrade Al2o3Al2o3PowderAl2o3PowderProduksi Nikel & Kemungkinan PNTBijih Ni Laterit(Ni tinggi)Ni PlateDual phase S.SPH S.SHigh strength steelsFe Ni based superalloysNi based superalloysCo based superalloysAlloying elementNi alloys: Jenis produk yang telah dihasilkan di dalam negeri: Jenis produk yang belum dihasilkan di dalam negeriJalurPirometalurgiFe NiStainless steelsSpecial steelsNi murniCo murni Ni matteBijih Ni Laterit(Ni rendah)JalurPirometalurgi
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 29
Mohamad Anis ST. MM.
(Kasi. Perencanaan Produksi dan Pemanfaatan Batubara dan Panas Bumi, Subdit. P-3)
Penerapan Program Kebijakan
Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Logam Indonesia
Pemanfaatan sumberdaya mineral logam Indonesia
belum dilakukan secara optimal. Oleh
karena itu, perlu suatu upaya untuk mewujudkan
optimalisasi tersebut demi kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia.
Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP No. 10
Tentang Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
telah jelas mengamanatkan pelaku usaha pertambangan
untuk melakukan pengolahan bahan
galiannya di dalam negeri. Potensi mineral logam
Indonesia cukup besar dan tersebar di berbagai
daerah serta telah diusahakan dengan memegang
izin Kontrak Karya (KK) serta Izin Usaha Pertambangan
(IUP) Mineral. Namun, sebagian besar operasional
produksi pertambangan masih dalam wujud
bahan mentah (bijih ataupun kosentrat).
Dewasa ini, pertumbuhan industri hilir penghasil
barang konsumsi logam di dalam negeri semakin
meningkat sehingga kebutuhan akan bahan
baku lanjutan mineral logam cukup tinggi. Namun,
peningkatan tersebut tidak diikuti oleh ketersediaan
bahan baku dari dalam negeri. Contoh yang
paling nyata adalah kebutuhan bahan baku baja
justru masih mengimpor bahan baku besi olahan,
yakni pig iron dan sponge iron. Industri konsumsi
alumunium juga bernasib sama, masih mengimpor
alumina dari luar negeri. Hal ini seperti ini sudah
umum terjadi pada industri logam lainnya.
Peningkatan nilai tambah mineral logam
merupakan suatu upaya optimalisasi pemanfaatan
bahan galian mineral logam yang dilakukan dengan
bijaksana yang sesuai dengan kaidah konservasi
bahan galian. Selain itu, peningkatan nilai tambah
mineral juga dapat meningkatkan penerimaan
negara dan terjadi alih teknologi.
Saat ini industri pengolahan lanjutan mineral
logam, terutama emas-perak, telah tersedia di
dalm negeri. Tetapi kapasitasnya belum mencukupi
untuk menampung produk olahan dari produsen
konsentrat mineral yang ada (baik KK maupun IUP
Mineral).
Pengertian Umum dan Kondisi
Saat ini
Nilai tambah mineral logam adalah usaha untuk
meningkatkan nilai keekonomian suatu hasil tambang
melalui pemrosesan dan pemurnian sehingga
menghasilkan dampak kemanfaatan lebih tinggi
pada produk yang dihasilkan dan memberikan
multiplier-effect pada pengembangan industri hilir
yang terkait (The Govt. of Canada : The Minerals and
Metals Added-Value Policy, 1998). Lebih khusus lagi,
pengertian peningkatan nilai tambah mineral logam
berdasarkan pada parameter ekonomi, yaitu
perbedaan antara nilai output dan nilai input. Dengan
kata lain, peningkatan nilai tambah berarti ad-
ARTIKEL MINERBAPABUM
30 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
anya peningkatan harga material yang dihasilkan
dari proses pengolahan mineral dan logam persatuan
berat logam/mineral.
Diharapkan, peningkatan nilai tambah (PNT)
mineral logam yang dihasilkan dapat memberikan
kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang
dihasilkan serta memberikan multiplier-effect pada
pengembangan industri hilir yang terkait dan
pengembangan masyarakat serta pertumbuhan
ekonomi lokal.
Saat ini, perkembangan potensi sumber daya
dan cadangan mineral logam, khususnya data dari
KP/IUP Mineral yang diterbitkan di daerah masih
belum akurat. Umumnya usaha pertambangan
mineral logam Indonesia, baik KK dan KP Mineral,
masih menghasilkan produk mentah dan konsentrat.
Kemudian produk tersebut langsung dieksport
tanpa dilakukan upaya peningkatan nilai tambah
terlebih dahulu. Inilah yang mengakibatkan penyediaan
bahan baku mineral logam bagi industri
logam (lanjutan) dalam negeri menjadi berkurang.
Di sisi lain, industri lanjutan logam Indonesia
umumnya tidak didesain menerima spesifikasi bahan
baku sesuai potensi yang ada, melainkan dari
impor. Sehingga, industri lanjutan pengolahan/
pemurnian mineral logam pada komoditas tertentu
masih kurang. Jikapun ada, kapasitasnya masih terbatas.
Sebagai contoh, pengolahan dan pemurnian
yang diusahakan PT Antam (Unit Logam Mulia) di
Jakarta maupun di Gresik hanya dapat menampung
30-35% produk konsentrat mineral tembaga/
emas Indonesia. Efek lanjutan yang terjadi adalah
tidak terpenuhinya kebutuhan produk setengah
jadi untuk industri konsumsi (hilir).
Sumber daya mineral logam Indonesia tersebar
di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua
dan di Jawa. Pada tulisan ini, dibahas enam komoditas
utama yaitu emas-perak (berupa endapan
primer-sekunder), tembaga, besi (berupa bijih dan
pasir), bauksit, nikel dan timah.
Sumber daya dan cadangan mineral logam
yang sudah terdata umumnya berasal dari beberapa
perusahaan yang telah melakukan kegiatan
eksplorasi lanjut atau yang telah pada tahap kegiatan
eksploitasi. Dari hasil perkembangan data
yang ada ternyata potensi mineral logam Indonesia
masih cukup besar dan sebagian besar masih dieksploitasi
oleh perusahaan besar. Berikut ini adalah
tabel mengenai hasil perkembangan sumber daya
dan cadangan yang dihimpun dari Badan Geologi
awal tahun 2009.
Tabel Sumber Daya dan Cadangan Mineral Logam
Indonesia Thn. 2009
No. Komoditas
Sumber Daya
awal Thn.
2009 (ton)
Cadangan
awal Thn
2009 ( ton )
Keterangan
1 Nikel 1.716.547.773 555.110.009 Bijih
2 Timah 629.100 442.764 Logam
3 Bauksit 626.617.510 161.603.547 Bijih
4 Tembaga 69.776.510 44.172.246 Logam
5 Emas Primer 4.278 4.514 Logam
6 Emas alluvial 148 4 Logam
7 Perak 505.677 26.189 Logam
8 Pasir Besi 1.014.797.846 4.732.000 Bijih
9 Besi Laterit 1.565.195.899 80.640.000 Bijih
10 Besi Primer 381.107.206 2.216.005 Bijih
11 Besi Sedimen 23.702.186 Bijih
Perkembangan Pengusahaan
Mineral Logam
Sampai saat ini jumlah kontraktor Kontrak Karya
(KK) dari berbagai generasi dan tahapan kegiatan
seluruhnya berjumlah 26 perusahaan. Ditambah 2
KP-BUMN tahap produksi yaitu PT Aneka Tambang
(PT Antam) dan PT Timah. Dari keseluruhan KK
tersebut, sembilan perusahaan diantaranya telah
berproduksi, empat perusahaan KK dalam tahap
konstruksi, dan sisanya sebanyak 11 perusahaan
masih pada tahap studi kelayakan. Dari beberapa
perusahaan tersebut diharapkan secara aktif
mempunyai kontribusi dalam penambahan angka
sumberdaya dan cadangan mineral logam. Pada
halaman berikut ini tersedia peta yang menggambarkan
penyebaran perusahaan KK dan KP BUMN.
Secara umum, belum banyak perusahaan KK
yang menghasilkan produk lanjutan untuk pemurnian
mineral logam. Perusahaan KK masih pada tahap
eksplorasi mungkin cukup banyak, tetapi pada
kajian ini hanya difokuskan pada perusahaan yang
telah memberikan perkembangan data sumber
daya dan cadangan atau minimal kontribusi untuk
data sumber daya seperti pada perusahaan tahap
studi kelayakan. Sedangkan mineral-mineral logam
lainnya seperti bauksit, bijih nikel dan bijih besi lebih
banyak diusahakan oleh Kuasa Pertambangan
(KP) Mineral.
Tingkat produksi mineral logam terus meningkat,
meskipun belum ada peningkatan investasi
yang signifikan pada industri mineral logam. Secara
keseluruhan, kinerja industri mineral logam Indoedisi
8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 31
nesia dalam kurun waktu 1990–2002 cukup menjanjikan.
Bahkan, beberapa komoditas mengalami
pertumbuhan yang signifikan. Jika dilihat memang
ada beberapa komoditas mineral logam yang mengalami
penurunan, misal nikel, bijih besi dan timah.
Hal ini lebih diakibatkan pada penurunan permintaan
pasar dunia, jadi kecenderungan harga menurun
berimbas pada penurunan produksi.
Berikut kondisi jenis produk mineral logam
dan produk hilir logam yang dihasilkan oleh perusahaan
tambang dan industri hilir logam Indonesia:
- Bijih Timah, telah diproses menjadi logam timah
hingga mencapai 99, 9% oleh PT Kobatin
dan PT Timah;
- Ferro Nikel dan Nikel Matte telah dihasilkan
oleh smelter PT INCO dan PT Antam;
- Konsentrat emas yang dihasilkan perusahaan
KK antara lain PT NHM, PTNNT dan perusahaan
KK lainnya sebagian telah dimurnikan oleh PT
Antam Unit Logam Mulia;
- Sekitar 30% konsentrat tembaga yang dihasilkan
PT Freeport diproses di dalam negeri (PT
Smelting Gresik) menjadi katoda tembaga.
Pada yang dicantumpan di atas menunjukkan
posisi dan jenis produk yang dihasilkan perusahaan
KK, KP BUMN dan KP Mineral Indonesia.
Selanjutnya, produksi perusahaan-perusahaan
KP Mineral umumnya juga menunjukan kecenderungan
hal yang sama: material mentah belum diproses.
Contoh mineral yang diekspor dalam bentuk
bahan mentah (raw material) adalah bauksit,
bijih besi dan nikel (umumnya oleh KP/IUP).
Sementara itu, hingga saat ini Indonesia masih
mengimpor besi sponge/pellet untuk industri baja
dalam negeri (PT Krakatau Steel) dan alumina untuk
pengembangan industri aluminium (PT Inalum).
Perkembangan Industri Lanjutan
Mineral Logam
Terbatasnya industri lanjutan logam di Indonesia
juga menjadi salah satu faktor penyebab “larinya“
produk bahan mentah (bijih logam) ke luar negeri.
Hal ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan
produk setengah jadi untuk industri komsumsi
(hilir) lebih mengandalkan impor produk olahan
mineral logam tersebut dari luar negeri.
Peta lokasi penyebaran KK dan KP BUMN Mineral Logam Indonesia
32 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
Beberapa jenis industri hilir yang menjadi
pengguna utama produk olahan di dalam negeri:
metalurgi/pengecoran logam/kontruksi, elektronika,
perhiasan dan industri hilir terkait mineral
logam lainnya. Konsumsi produk olahan mineral
logam nantinya akan semakin meningkat terutama
untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang juga
semakin meningkat. Berikut tabel yang menunjukan
kinerja industri logam Indonesia dari berbagai
aspek pada empat tahun terakhir.
Tabel Kinerja Industri Logam Indonesia (2005-2008)
Uraian Satuan 2005 2006 2007 2008
Jumlah Perusahaan Unit 869 893 919 953
Jumlah Tenaga Kerja Orang 203.066 207.761 212.243 222.184
Ekspor Juta US$ 5.623,8 7.860,4 10.185,2 11.161,0
Impor Juta US$ 6.033 5.728 7.561 14.329
Utilisasi Persen 60,6 61,1 61,1 61,8
- Investasi dalam US$ Juta US$ 4.712 4.918 4.827 4.981
Investasi dalam Rupiah Miliar Rp 16.679 19.725 17.190 19.601
Sumber: Direktorat Industri Logam, Depperin
Permasalahan
Berikut beberapa permasalahan terkait dengan
usaha peningkatan nilai tambah mineral logam:
- Belum adanya singkronisasi kebijakan terkait
pengembangan usaha nilai tambah antar instansi
terkait. Termasuk tumpang tindih regulasi
yang pada akhirnya berakibat tidak singkronnya
sektor pertambangan yang belum
berorientasi pada penumbuhan rantai proses
industri pengolahan di dalam negeri;
- Pemanfaatan dan utilisasi kapasitas produksi
mineral logam lanjutan/ produk nilai tambah
masih rendah sehingga tergantung pada masuknya
impor produk setengah jadi mineral logam
seperti baja, alumina dll;
- Terbatasnya kemampuan SDM yang sesuai dengan
perkembangan dan penguasaan teknologi,
khususnya dalam pengembangan peningkatan
nilai tambah, berakibat pada daya saing rendah
(teknologi tertinggal, standar rendah, biaya
tinggi);
- Penggunaan energi pada industri lanjutan pengolahan
dan pemurnian mineral logam belum
efisien;
- Penerimaan negara dari usaha peningkatan nilai
tambah mineral logam belum optimal.
- Belum berkembangnya multiplier efek pada
pemberdayaan masyarakat lokal dan peranan
pemerintah provinsi/kabupaten/kota belum
optimal;
- Kurang dukungan pendanaan dari sektor perbankan
untuk kegiatan investasi, khususnya
pada industri lanjutan peningkatan nilai tambah
logam;
Bijih Nikel
ijBi h Tembaga
Bijih Timah
Bijih Bauksit
iBjih Beis
Fei N &i N mttae
Cu mruin
Snmurni
lA mruin
Baja
ijBi h Tembaga
Bijih Timah
Ekspor
Ekspor
Ekspor
Ekspor
Ekspor
Impro
lA2O3
Impro Pakte
ibjih beis
Ekspor
Ekspor
Ekspor
Ekspor
Dalam negeri
Ekspor
Ilustrasi peningkatan nilai tambah mineral logam Indonesia
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 33
- Infrastruktur pendukung kurang tersedianya,
seperti dermaga dan akses transportasi yang
terbatas.
Potensi Keunggulan Indonesia
Ketersediaan Potensi Sumber daya dan
Cadangan mineral logam
Posisi geologis Indonesia yang strategis membawa
berkah berupa kekayaan alam mineral logam yang
cukup besar. Kompleksitas proses tektonik, terletak
disamping jalur magmatis yang sekaligus juga
merupakan jalur mineralisasi yang kaya akan cebakan
mineral khususnya mineral logam. Hal tersebut
bisa dilihat pada peta di bawah ini.
Dalam kajian ini tidak semua potensi mineral
logam dibahas secara lebih detail.
Bijih besi merupakan salah satu jenis mineral
logam yang cukup besar terdapat di Indonesia.
Saat ini kemampuan mengolah cadangan deposit
iron ore/bijih besi/pasir besi lebih dari 2 milyar ton
yang tersebar di Kalimantan Selatan, Sulawesi selatan
dan pantai selatan pulau Jawa. Cadangan ini
mampu mendukung industri baja termasuk industry
metalurgi lainnya.
Untuk potensi mineral-mineral logam lainnya
seperti emas-perak, tembaga, timah, nikel dan
bauksit secara umum tersebar pada jalur magmatis
di semua pulau-pulau baik besar maupun kecil.
Emas-perak berkadar tinggi banyak tersebar di pulau
Sumatera-Jawa dan Halmahera Utara (Malut).
Sedangkan emas berkadar rendah-sedang, umumnya
terdapat di pulau Sulawesi (bagian Utara),
Kalimantan Barat, Tengah dan Timur, Nusa Tenggara
(Pulau Sumbawa) dan Papua Barat. Secara
umum komoditas ini telah diusahakan baik oleh
perusahaan KK, KP BUMN, dan swasta. Keterdapatan
mineral emas tidak hanya berupa cebakan
primer tetapi juga terdapat dalam bentuk endapan
sekunder ataupun placer yang umum didapatkan di
pinggir sungai-sungai di Indonesia. Emas placer di
Indonesia terdapat di Pulau Kalimantan terutama di
propinsi Kalbar dan Kalsel.
Mineral logam tembaga umumnya terdapat
berdampingan dengan mineral emas. Mineral ini
biasanya terdapat di Pulau Papua dan Sumbawa.
Potensi mineral timah umumnya banyak terdapat
di Pulau Bangka Belitung dan Bauksit banyak
terdapat di Kalimantan Barat. Potensi mineral logam
tersebut sebagian besar telah diusahakan oleh
perusahaan KK, KP BUMN dan KP Mineral.
Kebijakan Pendukung yang Baru
Pemerintah telah mengganti UU lama (UU no. 1 tahun
1967 tentang Pertambangan Umum) dengan
UU baru yaitu UU Minerba/2009. Kebijakan terbaru
Penyebaran Deposit Mineral Logam Indonesia
34 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
mendorong adanya peningkatan nilai tambah mineral
logam.
Selanjutnya, dari payung utama tersebut dan
dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber
daya mineral, telah disusun suatu peraturan
pendukung diantaranya PP No. 23 tentang Kegiatan
Usaha Pertambangan Minerba dan Rpermen
Peningkatan Nilai Tambah Minerba. PP No. 23 berisi
peraturan pelaksanaan UU Minerba. Secara garis
besar mengamanatkan dan mewajibkan IUP meningkatkan
nilai tambah sumber daya mineral dan/
atau batubara. Kebijakan ini harus dijabarkan lebih
lanjut untuk mengatur mekanisme pengembangan
peningkatan nilai tambah. Mekanisme tersebut
meliputi pengaturan dan jadwal pelaksanaan target
program peningkatan nilai tambah disesuaikan
dengan jenis komoditas, kapasitas produksi,
pelaksana program, permodalan/investasi, fasilitas
penunjang dan lainsebagainya. Hal-hal tersebut
secara terpadu harus disesuaikan dengan program
sektor lain terkait seperti, perindustian, perdagangan,
lingkungan dan sektor lainnya.
Pengembangan Penerapan
Teknologi Nilai Tambah
Penerapan teknologi peningkatan nilai tambah
mineral logam telah berkembang pesat. Teknologi
pengolahan dan pemurniaan untuk bahan mentah
maupun konsentrat tersebut sudah semakin
efisien, yaitu dalam hal biaya produksi semakin
rendah, penggunaan tenaga kerja dan ramah lingkungan.
Diharapkan, teknologi industri lanjutan
pengolahan bahan baku mineral logam olahan bisa
tumbuh di Indonesia. Sebagai contoh, penguasaan
teknologi ironmaking untuk memproses bijih besi &
batubara berasal dari Indonesia. Hal tersebut mendorong
kita menjadi terus optimis mengembangkan
teknologi terkini yang efisien untuk peningkatan
nilai tambah di Indonesia. Kombinasi teknologi
maju dari luar dan pengembangan teknologi tersebut
di Indonesia diharapkan mendorong optimalisasi
pemanfaatan bahan baku mineral logam.
Penerapan Program Kebijakan
Saat ini, kebijakan yang ada dan menjadi payung
untuk pengembangan kebijakan peningkatan nilai
tambah mineral adalah:
• UU No 4 Tahun 2009, tentang Mineral dan Batubara.
Secara garis besar mengamanatkan IUP
wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya
mineral dan/atau batubara;
• PP tentang Kegiatan Usaha Minerba, masih
berupa rancangan berisi peraturan pelaksanaan
UUD Minerba secara spesifik untuk harus
adanya peningkatan nilai tambah mineral logam;
• RPermen tentang PNT Minerba, masih berupa
rancangan berisi peraturan pelaksanaan PP No.
23 secara spesifik untuk harus adanya peningkatan
nilai tambah mineral logam.
Instrumen-instrumen yang efektif untuk menjalankan
kebijakan tentunya antara lain mencakup
berbagai sektor terkait. Disamping itu juga diperlukan
beberapa kebijakan yang lebih terukur bisa
diterapkan untuk mendorong program peningkatan
nilai tambah mineral logam antara lain:
• Sinkronisasi kebijakan antara instansi pemerintah
terkait (Kemen. ESDM, Perindustrian dan
Perdagangan) diantaranya dalam hal keterpaduan
roadmap industri hulu–hilir (perlunya langkah
koordinasi antar instansi bahwa industri
hulu/sektor pertambangan harus menunjang
industri/ sektor hilir);
• Peningkatan nilai tambah yang lebih implementatif
dan terukur serta peningkatan kandungan
lokal pertambangan (diusulkan adanya
Keputusan Menteri/Kepmen sebagai tindak
lanjut RPP untuk penerapan nilai tambah bagi
mineral logam);
• Jaminan pasokan mineral logam pada industri
logam lanjut dan hilir di dalam negeri dan harga
patokan mineral logam (Diusulkan adanya
draft Kepmen ESDM tentang DMO/Domestic
Market Obligation khususnya penyediaan bahan
baku mineral logam);
• Menjaga ketersediaan dan kesinambungan pasokan
energi yang diperlukan pengembangan
industri peningkatan nilai tambah mineral logam;
• Mendorong penerapan teknologi termasuk
ketersediaan SDM dan penyiapan infrastruktur
pendukung serta penyediaan lokasi fasilitas
pengolahan dan pemurnian untuk peningkatan;
• Peningkatan investasi dan penerimaan negara.
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 35
Koordinasi Pelaksanaan
Koordinasi pelaksanaan sangat diperlukan untuk
mewujudkan dan menjalankan kebijakan yang sifatnya
lintas sektor. Sebab, dalam hal pelaksanaan
program tidak hanya didominasi sektor tertentu.
Seperti halnya kebijakan pengembangan peningkatan
nilai tambah mineral logam merupakan
suatu program terpadu yang akan mencapai suatu
keberhasilan jika dijalankan dengan koordinasi berbagai
sektor terkait.
Untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan
tersebut, perlu disusun suatu alur pikir yang
mencerminkan keterkaitan antar sektor terkait
baik dari sektor ESDM, dalam hal ini Ditjen Minerba
Pabum termasuk pihak instansi lain terkait, meliputi
Perindustrian, Perdagangan, KLH, termasuk
juga pemerintah daerah. Pihak yang lainnya adalah
pelaku usaha atau asosiasi dagang terkait. Berikut
ini adalah suatu bagan alir yang menggambarkan
keterkaitan antar sektor dan stakeholder dalam
mencapai sasaran peningkatan nilai tambah.
Penjabaran peranan beberapa pihak terkait
dalam usaha pengembangan peningkatan nilai
tambah mineral logam adalah sebagai berikut.
Peranan DESDM (Ditjen Minerba)
Peranan yang utama adalah dalam mengelola industri
hulu pertambangan terutama untuk pelaku
usaha di bidang pengusahaan pertambangan mineral
logam seperti KK dan KP Mineral. Keterkaitan
dalam pengembangan usaha peningkatan nilai
tambah mineral logam meliputi:
• Menyusun dan menerbitkan kebijakan ataupun
peraturan perundangan yang terkait dengan
pelaksanaan PNT mineral logam;
• Menfasilitasi koordinasi semua pihak yang terkait,
misal dalam hal singkronisasi dan implementasi
kebijakan;
• Menyediakan data sumber daya dan cadangan
mineral logam dan pelaku usaha terkait;
• Menyediakan keterdapatan energi penunjang
(terutama batubara);
• Mendorong investasi fasilitas pengolahan mineral
logam untuk PNT, dll.
Peranan Instansi pemerintah terkait
Instansi terkait dalam hal ini adalah instansi pusat
yang terdiri dari Kementerian Perindustrian, Perdagangan,
KLH dan instansi lainnya. Sedangkan instansi
lainnya adalah pemerintahan di provinsi dan
kabupaten/kota. Kemudian lembaga penelitian
pemerintah terkait misal, Tekmira (internal) dan
BPPT (eksternal).
1. Peranan yang diharapkan dari instansi pusat
adalah:
−− Saling koordinasi dalam rangka mendorong
usaha PNT mineral logam misal dalam
penyusunan roadmap Industri metalurgi
(industri baja) disesuaikan dengan roadmap
ketersediaan bahan baku mineral logam
dari Ditjen Minerba Pabum;
−− Pengetatan ekspor/impor bahan baku
mineral logan produk jadi maupun
setengah jadi untuk memeberi kesempatan
pengembangan industri terkait dalam
negeri;
−− Penyusunan baku mutu produk PNT mineral
logam sesuai SNI;
ESDM
(Ditjen Minerba Pabum)
Instansi Terkait
Pusat
Pemerintah Daerah
LembagaLitbang
Perindustrian
Perdagangan
KLH
Pem. Proipnis
Pem. Kabupaten/Kota
BPPT
Tekmria
Stakeholder
Kadin sektor industri tambang
I MA
KKatau IUP Mineral
Akademisi
PNT
Mineral Logam
koordinasi
Skema Alur Pikir Pengembangan Program Peningkatan Nilai Tambah
36 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
−− Penyusunan kebijakan lingkungan terkait
usaha PNT mineral logam;
−− Penyediaan keterdapatan energi penunjang
(terutama batubara);
−− Mendorong investasi fasilitas pengolahan
mineral logam untuk PNT, dll.
2. 2. Peranan Pemerintah Daerah meliputi:
−− Penyusunan dan penerbitan kebijakan
maupun perundangan terkait yang
harmonis sesuai peraturan pemerintah
pusat; Penyediaan keterdapatan energi
penunjang (terutama batubara);
−− Mendorong investasi fasilitas pengolahan
mineral logam untuk PNT di daerah dengan
pemberian fasilitas yang menunjang, dll.
3. 3. Peranan dari lembaga litbang adalah:
−− Melakukan penelian dan pengembangan
teknologi PNT mineral logam yang mudah
dan diterapkan secara komersial di dalam
negeri;
−− Penyediaan SDM penunjang dan
berkoordinasi dengan instansi teknis terkait,
dll.
Peranan Stakeholder
Stakeholder disini merupakan pihak-pihak yang secara
langsung dapat memberikan kontribusi nyata
dalam pengembangan usaha peningkatan nilai
tambah mineral logam. Pihak stakeholder ini terdiri
dari Kadin sektor tambang, pelaku usaha (KK dan
KP/IUP Mineral) dan akademisi, peranan mereka
meliputi:
• Penyediaan bahan baku mineral logam terkait
PNT;
• Pengembangan pendirian/kontruksi fasilitas
utama dan pendukung peng-olahan lanjut
dalam rangka PNT mineral logam;
• Mendorong investasi fasilitas pengolahan mineral
logam untuk PNT;
• Melakukan penelian dan pengembangan
teknologi PNT mineral logam yang mudah dan
diterapkan secara komersial di dalam negeri;
• Penyediaan SDM penunjang dan dapat berkoordinasi
dengan instansi teknis terkait, dll.
Langkah Strategis
Sebagai penerapan langkah-langkah strategis,
dibawah ini disusun suatu program yang mesti dilaksanakan
untuk mencapai sasaran yang diharapkan
sesuai kebijakan yang telah dibuat. Sasaran
yang diharapkan dan dapat dicapai merupakan
suatu keberhasilan lintas sektoral yang tidak berdampak
secara keekonomian tetapi juga bersifat
lebih luas yaitu:
a. Peningkatan devisa Negara;
b. Pemenuhan bahan baku untuk industri hilir;
c. Konservasi mineral logam menjadi optimal;
d. Pemicu pembangunan/multiflier effek dan
Pengembangan masyarakat.
Dalam upaya mewujudkan pelaksanaan kebijakan
yang akan menjamin kontinuitas dalam penyediaan
dan pemanfaatan mineral yang berkelanjutan,
efisien dan bernilai tambah tinggi, maka
diperlukan langkah-langkah terarah dan sistematis
yang terdiri dari program strategis sebagai berikut:
Menciptakan Kepastian Hukum dalam
Pengusahaan Mineral
1. Terbitnya kebijakan untuk pelaksanaan UU Minerba
(PP, Permen, Pedoman) termasuk penyusunan
Indonesia Mineral Policy (KMN);
2. Sinkronisasi regulasi dan kebijakan dengan sektor
lain (Kem. Keuangan, KLH, kehutanan, perkebunan,
kelautan, perindustrian, perdagangan,
transmigrasi, pekerjaan umum dll);
3. Penyelesaian kasus tumpang-tindih lahan
wilayah pertambangan dengan sektor lain;
4. Penguatan hubungan koordinasi pusat-daerah.
Menjamin Keamanan Pasokan Mineral
Logam dalam Negeri
1. Inventarisasi kebutuhan mineral logam dalam
negeri;
2. Pengaturan kebutuhan mineral logam dalam
negeri terutama industri penggunan bahan
baku mineral logam dan industri hilir;
3. Pengendalian Produksi dan Ekspor mineral loedisi
8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 37
gam khususnya yang masih berupa produk
mentah/raw material;
4. Pengembangan cadangan nasional mineral logam
(national reserve).
Pengolahan dan Pemurnian dalam Rangka
Peningkatkan Nilai Tambah di dalam
Negeri
1. Kajian teknis pengolahan dan pemurnian untuk
setiap jenis mineral logam;
2. Penetapan aturan pengolahan dan pemurnian
setiap jenis mineral dalam negeri meningkatkan
litbang teknologi pengolahan dan pemurnian
bahan baku mineral logam;
3. Mewajibkan ekspor produk tambang dalam
bentuk produk akhir atau yang sudah ditingkatkan
nilai tambahnya;
4. Menyusun kajian masterplan pendirian fasilitas
pengolahan mineral utama dan infrastruktur
pendukung lainnya termasuk memfasilitasi
pengolahan untuk IUP di daerah;
5. Penguatan pembinaan untuk pengembangan
pengolahan mineral logam;
6. Pengembangan dan penerapan industri mineral
logam lanjutan.
Peningkatan Investasi Pengusahaan
Mineral
1. Pelayanan informasi pengusahaan mineral terpadu
(pusat dan daerah)
2. Penyediaan data dan informasi potensi sumber
daya mineral,
−− Kegeologian dan Data Potensi Mineral
−− Wilayah pertambangan mineral untuk
seluruh Indonesia
−− Data potensi pengembangan hilir
3. Meningkatkan/mendorong investasi industri
lanjut mineral logam
−− menyelesaikan regulasi Pendukung UU No 4
Tahun 2009
−− meningkatkan frekuensi promosi Investasi.
4. Memberikan kemudahan bagi investor dengan
mendorong pemberian insentif untuk industri
pengolahan dan pemurnian mineral;
5. Pengembangan infrastruktur untuk industri
pertambangan.
Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan
Pertambangan Mineral
1. Penerapan good mining practice (teknik pertambangan,
standardisasi, konservasi, lingkungan
hidup, K3 dan keselamatan operasi);
2. Produksi dan penjualan secara terpadu dengan
daerah;
3. Optimalisasi penerimaan negara berkerjasama
dengan instansi terkait dan Tim Optimalisasi Penerimaan
Negara –BPKP;
4. Peningkatan kuantitas dan kualitas SDM pengawas
khususnya pada industri peningkatan nilai
tambah;
5. Pelaksanaan pengembangan masyarakat (CD)
dan perekonomian yang mandiri dan sustainable.
Penyediaan Energi
1. Inventarisasi dan pencadangan energi potensial
yang ada di dalam negeri (batubara dan panasbumi);
2. Kebijakan pengendalian ekspor batubara sebagai
energi potensial;
3. Percepatan investasi dan pengembangan energi
panas bumi agar dapat dimanfaatkan secara
optimal energi tersebut, dll.
Produk PNT Mineral Logam
Disesuaikan dengan hasil rancangan terakhir Rpermen
yang sedang disusun.
Dalam hal mengimplementasikan langkah
strategis, penulis mencoba memberikan suatu rancangan
Peningkatan Nilai Tambah roadmap mineral
logam agar jelas dan terukur penerapan langkah
kegiatan dan hasilnya, tentunya hasil ataupun target
yang diharapkan sesuai dengan rancangan Peraturan
Menteri (Rpermen) yang telah disusun saat
ini. Berikut ini adalah gambar rancangan RoadMap
PNT Mineral Logam:
38 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
Perencanaan Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Logam
Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan
suatu perencanaan tahapan program kegiatan
yang meliputi suatu tahan rancangan, proses hulu
– hlilir yang nantinya akan menghasilkan suatu
program peningkatan nilai tambah mineral logam.
Hasil usaha PNT ini tidak hanya yang bersifat
keeko-nomiaan secara mikro (produk nilai tambah)
tetapi juga efek berganda dalam pengembangan
masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungn masyarakat lokal.
Dalam melaksanakan program tersebut tentunya
juga perlu koordinasi antar instansi pemerintah terkait
(misal Kemen. ESDM, Perindustrian dan Perdagangan)
agar terjadi singkronisasi kebijakan dan
program pelaksanaannya.
Setiap komoditas tentunya mempunyai skema
sendiri dalam penentuan target nilai tambah yang
akan dicapi sesuai dengan kebutuhan industri
prosesing antara dan industri hilir penghasil barang
konsumsi. Bisa jadi industri lanjutan hanya pada
produk tertentu yang masih berupa produk olahan
pertama karena besarnya investasi yang harus ditanamkan.
Tetapi bisa juga produk mineral logam
pada kondisi tertentu yang langsung bisa dikonsumsi
karena sudah bernilai cukup tinggi. Hasil
produk akhir telah disusun berdasarkan rumusan
yang terdapat pada Rancangan Permen PNT Minerba.
Skema pola pikir yang menggambarkan usaha
peningkatan nilai tambah mineral logam pada
gambar berikut.
Penyusunan Terpadu Skema
Industri Logam Hulu–Hilir
Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah
melakukan koordinasi antar instansi pemerintah
terkait (misal Kemen. ESDM, Perindustrian dan
Perdagangan) agar terjadi singkronisasi kebijakan
dan program pelak-sanaannya. Perwujutan singkronisasi
kebijakan dilakukan dengan penyu-sunan
secara terpadu tahapan kegiatan industri hulu –
hilir. Rangkaian tahapan industri komoditas mineral
logam dimulai dari industri hulu yang merupakan
industri pertambangan meliputi bagan eksplorasi
untuk mendapatkan potensi cadangan sampai
dengan eksploitasi yang menghasilkan produk
bahan mentah. Bagan berikutnya adalah tahapan
pengolahan dan pemurnian yang menghasilkan
konsentrat maupun produk logam sesuaikan dengan
kebutuhan industri lanjutan maupun hilir yang
memerlukan produk tersebut. Kegiatan pada sisi
Jadwal Penerapan Langkah Strategis Program PNT Mineral
Langkah Strategis 2009 2010 2011 2012 2013 2014 dst 2015
Hasil Persiapan dan Pelaksanaan Tahap Awal Target Lanjutan
Kebijakan pendukung UU No. 4
Minerba
PP No.10 Keb. Insentif keuangan; Permen PNT, Peraturan dan perundangan
terkait lainnya
Litbang Kajian Sn & Al Kajian2 terkait (dilakukan kerjasama dengan pihak ketiga atau instansi litbang
terkait misal Tekmira, BPPT dll)
Koordinasi Lintas Sektor Koordinasi dengan instansi terkait misal Kemkeu, Kempendag, Kemperin, KLH dalam pembuatan
kebijakan dan peraturan penunjang
Sosialisasi Kepada Stakeholder terkait (misal kepada aparat pemda terkait dan IUP pelaksana program
kebijakan PNT Min. Logam)
Binwas Dilakukan sebagai sarana untuk monitoring dan evaluasi agar program kegiatan PNT Logam
berjalan sesuai kebijakan yang ada
Penyediaan bahan baku Inventarisasi Sumber Daya dan Cadangan Mineral Logam
Penyediaan energi Batubara Batubara, Panas Bumi
Infrastruktur Kajian FS&Amdal, Kontruksi peningkatan kapasitas & Baru, Transportasi, fasilitas penunjang
lainnya
Efek Ganda Non Produk (penyediaan tenaga kerja, pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, dll)
Produk Sekarang/eksisting
- Raw material Diantaranya bijih Al, Ni, Fe, Mn
- Konsentrat Au, Cu, Al, Ni, Ag, Fe, Mn, Zn, Pb, Cr, Zn, Co, Cr, Mo, Pt, Vd, Ti
Produk Minimum sbg batasan
ekspor kecuali domestik
(Rpermen PNT)
Au, Cu, Al, Ni, Ag,
Fe, Mn, Zn, Pb, Cr,
Zn, Co, Cr, Mo, Pt,
Vd, Ti
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 39
hulu meliputi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
yang bentuk produknya masih berupa bahan mentah
(bijih), sedangkan pada posisi hilir meliputi dari
rangkaian kegiatan pengolahan dan pemurnian
sampai dengan proses niaga/pemasaran untuk
menghasilkan produk yang telah dikurangi kandungan
mineral pengotor sampai dengan produk
antara yang dibutuhkan pada industri barang komsumtif
(industri rumah tangga, transportasi dan industri
komersial lainnya).
Contoh Langkah Terapan
Saat ini potensi yang dihasilkan dari produk mentah
ini kemungkinan cukup besar, jadi langkah
kedepan berdasarkan UU Minerba perlu dipikirkan
untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian
untuk meningkatkan nilai tambah produk
mentah tersebut. Agar dapat diusahakan mempunyai
kapasitas ataupun daya tampung dan lokasi
yang strategis untuk dapat menerima pasokan bahan
mentah/bijih logam dari IUP yang ada. Pemerintah
menyadari hal ini, dengan menerapkan peraturan
terkait pendirian fasilitas pengolahan dan
pemurnian terkait peningkatan nilai tam-bah. Sesuai
dengan kebijakan UU Minerba, fasilitas tersebut
bisa dibuat bertahap selama lima tahun dengan
kapasitas produk akhir disesuaikan dengan kapasitas
produksi konsentrat atau produk setengah jadi
pemilik izin Kontrak Karya.
Produk yang dicapai dari hasil peningkatan
nilai tambah tidak hanya produk logam dengan kemurnian
yang diinginkan tetapi juga mineral ikutan
yang bisa ditingkatkan menjadi mineral ekonomis.
Sebagai contoh untuk industri pengolahan tembaga
dan emas-perak juga diharapkan menghasilkan
by produck mineral non logam berupa mineral
gipsum yang ekonomis. Kemudian contoh yang
lainnya yaitu pengolahan dan pemurnian mineral
logam timah akan juga menghasilkan produk ikutan
berupa mineral-mineral radio aktif diantaranya
monasit, zircon, ilmenit dan mineral lainnya. Sesuai
amanat UU, tentunya kebijakan peningkatan nilai
tambah ini harus diterapkan dengan tindak lanjut
peraturan yang lebih implementatif agar bisa dilaksanakan
oleh pelaku usaha terkait sesuai road map
yang telah dibuat.
Implementasi kebijakan
Secara lebih ringkas, implementasi kebijakan yang
rPorgam Pneingktaan Pemanfataani/lNia Tambahi Mnrela Logam
Bjih
Mineral Logam:
Au, Ag, Cu, Fe, NI,
Al & Sn
PENGOLAHAN DAN
PEMUIRNAN
rPoduk Samipng
Mineral/Logam Ikutan
Produk Setengah
Jad:i
- Konsentrat
- Bulion
- dll
Produk Nilai
Tambah:
-L ogam mruin
- Produk olahan
PRODUKAKHIR
MINERAL LOGAM
Program pelaksanaan:
?
?
?
?
?
Sinkronisais dan Kebijakan Pendukung
Penyediaan pasokan untuk industri
hilir
Teknologidan energiyang diperlukan
Lokasi fasilitas pengolahan dan
pemurnian untuk peningkatan
Ketersediaan SDM dan infrastruktur
pendukung, dll
Adanyanilai tambah:
?
?
?
Konservais mineral optimal dan pemenuhan
bahan baku untuk industri hlir
Devisanegaranaik
Pemicu pembangunan/multiplier efect dan
pengembangan masyarakat
40 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
diperlukan untuk mendorong pengembangan
usaha peningkatan nilai tambah diantaranya:
a. Mendorong pembangunan fasilitas peningkatan
nilai tambah secara terpadu untuk memfasilitasi
ataupun menampung produk bahan
mentah/ bijih mineral logam KP-KP Mineral
yang berada dalam suatu lokasi yang berdekatan
ini juga diterapkan kepada produsen produk
mineral olahan;
b. Membangun sistem pengangkutan dan akses
dermaga produk mineral logam olahan secara
terpadu, mulai dari hulu sampai hilir, dengan
mempertimbangkan keberadaan sektor lain untuk
dapat berperan serta.
c. Perlu peraturan pengenaan pungutan non pajak
terhadap komoditas yang dihasilkan dari prose
nilai tambah agar lebih adil dan proposional;
d. Diharapkan peningkatan nilai tambah ini tidak
hanya mendapatkan manfaat secara keekonomian
saja (devisa/PNBP) tetapi juga manfaat
yang lebih luas lagi yaitu memberikan multiplier-
effect pada pemba-ngunan daerah setempat
dan pemberdayaan masyarakat (mandiri dan
berkelanjutan)
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 41
Ir. Syawaluddin Lubis, MT
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara
Mengawal Kegiatan Pengusahaan
dengan Keluarnya PP 55 dan 78/2010
Ir. Syawaluddin Lubis, MT, seorang sosok yang tegas dan disipilin ini baru saja dipilih sebagai Direktur Teknik
dan Lingkungan Mineral dan Batubara. Bukan tugas yang mudah memang, namun ia optimisme melekat
kuat dalam hatinya untuk bekerja lebih baik lagi. Sebuah amanah yang memang wajib dijalankan sebaikbaiknya
untuk kepentingan bangsa dan negara. Tugas utama dari Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral
dan Batubara adalah menyusun rumusan dan melaksanakan kebijakan teknis, serta pembinaan lindungan
dan usaha penunjang di bidang mineral dan batubara. Salah satunya yaitu menjalankan PP 55/2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan dan PP 78/2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang yang sangat erat
kaitannya dengan tupoksi Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara
“Kedua PP ini diharapkan efektif mengawal kegiatan pengusahaan mineral dan batubara agar sesuai dengan
kaidah teknik pertambangan yang baik, berwawasan lingkungan dan mendukung program pembangunan
berkelanjutan” Jelas Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara.
Berikut wawancara lengkap Warta Mineral dan Batubara dengan Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral
dan Batubara:
PROFIL
42 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
Pertama-tama kami ucapkan selamat atas amanat yang Bapak emban untuk menjalan-kan tugas dan fungsi sebagai Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara. Kedepannya langkah apa yang akan Bapak lakukan dalam pelaksanaan pengawasan pertambangan di daerah terkait dengan maraknya perijinan yang telah dikeluarkan?
Berkaitan dengan maraknya perizinan yang telah dikeluarkan, beberapa hal yang akan kita lakukan adalah mengingatkan kepada Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi dan Kabupaten/Kota agar meningkatkan pengawasan implementasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan pertambangan. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap pengawasan administrasi dan langsung ke lapangan. Izin yang telah dikeluarkan berdasarkan kelayakan lingkungan yang disetujui wajib dilaksanakan dan dilaporkan per triwulanan maupun tahunan. Bilamana dalam laporan tersebut terdapat penyimpangan sebagaimana peraturan yang berlaku, daerah wajib mengenakan sanksi. Dalam proses peningkatan tahap izin dari eksplorasi ke tahap operasi produki, perusahaan wajib diminta menyampaikan rencana reklamasi dan rencana pascatambang yang akan berkaitan dengan kewajiban perusahaan untuk menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sebagai tanda kesungguhan perusahaan mempunyai komitmen untuk melaksanakan pemulihan lingkungan baik pada tahap operasi produksi dan bila telah memasuki kegiatan pasatambang.
Pada pertemuan tahunan Teknis Kepala Dinas Pertambangan seluruh Indonesia yang telah dilaksanakan bulan Desember 2010 di Jakarta kami juga telah menyampaikan pentingnya pengawasan tersebut baik pengawasan administratif maupun pengawasan operasional ke lapangan. Untuk mempermudah Dinas ESDM melakukan pengawasan administratif kami telah menyampaikan formulir yang berkaitan dengan K3 yang harus disampaikan oleh Pemegang IUP ke Pemerintah Daerah. Diharapkan formulir serupa yang berkaitan dengan ke lima aspek lain sesuai dengan tugas IT juga akan segera menyusul.
Seperti yang kita ketahui bahwa PP 55/2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan telah ditetapkan pada tanggal 5 Juli 2010, seperti apa pandangan Bapak mengenai PP ini khuedisi
8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 43
susnya terkait dengan pembinaan dan pengawasan
di bidang keteknikan, termasuk aspek
lingkungan hidup di pertambangan?
Dengan terbitnya PP 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan
dan Pengawasan telah ada suatu pedoman
objek pengawasan prioritas baik dari aspek teknis,
konservasi, keselamatan dan kesehatan kerja dan
perlindungan lingkungan. Diharapkan dengan
terbitnya PP ini membuat pegawasan dari pihak
pemerintah berkualitas dan terarah serta konprehesif,
karena pengawasannyua dari hulu ke hilir. Sebagai
contoh sebelumnya pengawasan oleh Inspektur
Tambang hanya untuk aspek K3 dan Lindung
Lingkungan (hanya 2 aspek), sedangkan berdasarkan
PP No. 55 tersebut mulai dari pengawasan
Teknis Pertambangan;Konservasi; K3;Keselamatan
Operasi; Lingkungan,reklamasi dan pasca tambang;
penguasaan,Pengembangan dan penerapan
Teknologi Pertambangan (enam aspek)
Dalam PP No. 55 tahun 2010 pasal 5 terkait
dengan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria
(NSPK), prioritas apakah yang akan Bapak
tetapkan agar NSPK bidang kegiatan pertambangan
minerba dapat segera diterbitkan ?
Kegiatan usaha pertambangan khususnya mineral
dan batubara dari aspek teknik dan lingkungan
diharapkan dapat mengikuti kaidah kegiatan pertambangan
yang baik dan benar, baik dalam penyelenggaraannya
yang dilakukan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah maupun oleh pemegang
KK, PKP2B dan yang dilakukan oleh pemegang IUP/
KP. Kita berharap keserasian dalam mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam ini menjadi harmonis.
Prioritas kedepan pada era UU NO. 4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan
dalam hubungannya dengan PP No. 55 Tahun 2010
tentang Pembinaan dan Pengawasan dalam menyusun
aturan, juknis dan pedoman teknis mengenai
Pengawasan Teknis, Lingkungan Pertambangan,
Keselamatan Pertambangan, Konservasi dan Pedoman
evaluasi sebagai ukuran penerapan Kegiatan
Pertambangan Yang Baik dan Benar.
Pengawasan Teknis dan Konservasi juga disebut
dalam PP 55/2010, bagaimana pelaksanaan
di lapangan, agar amanah untuk melakukan
pengawasan teknis dan konservasi dapat
44 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
Ir. Syawaluddin Lubis, MT
Direktur Teknik & Lingkungan Mineral dan Batubara
Tempat/Tanggal Lahir
Padangsidempuan, 16 Juni 1955
Pendidikan
S1: Institut Sains dan Teknologi Nasional , Jurusan
Teknik Elektro (1985)
S2: Universitas Indonesia, Magister Teknik Industri
(2001)
Riwayat Pekerjaan
1. Production Manager, PT Federal Cable (1987 - 1989)
2. PNS pada Departemen Pertambangan dan Energi
(1989 - sekarang)
3. Staf Subdit Pengamanan Teknis, Direktorat Teknik
Pertambangan - Ditjen Pertambangan Umum (1989
- 2002)
4. Kepala Seksi Keselamatan Tambang, Direktorat
Teknik Pertambangan - Ditjen Pertambangan
Umum (2002 - 2006)
5. Kepala Seksi Pertambangan Umum - Ditjen Pertambangan
Umum (2006 - sekarang)
6. Pelaksana Inspeksi Tambang, Direktorat Teknik Pertambangan
Umum - Ditjen Pertambangan Umum
(1989-sekarang)
7. Kasi Keselamatan Operasi Mineral dan Panas Bumi,
Dit. Teknik & Lingkungan Mineral, Batubara dan
Panas Bumi (2006-2008)
8. Kasubdit Keselamatan Operasi (2010-Sekarang)
Riwayat Mengajar
1. Kursus Inspektur Tambang (Dasar, Lanjutan), PPTP,
Bandung (1990-Sekarang)
2. Kursus Kepala Teknik Tambang, PPTP, Bandung
(1990-Sekarang)
3. Kursus K3 untuk safety officer (1990-Sekarang)
4. Assessor untuk Kompetensi Pengawas Operasional
Tambang (2004-Sekarang)
5. Mengajar Peraturan dan SM K3 pada FKM Jurusan K3
UI (2010-Sekarang)
dilakukan dengan baik? Mengingat, nampaknya aspek konservasi yang semula tidak diatur dengan jelas, sekarang sudah ada aturannya?
Dengan diundangkannya PP 55/2010 diamanahkan untuk membuat petunjuk teknis terkait teknis pertambangan dan konservasi, dan sedang disusun Rancangan Permen Teknis Pertambangan dan Rancangan Permen Konservasi.
Pelaksanaan Pengawasan Teknis dan Konservasi seperti telah disebut di atas menjadi salah satu aspek yg harus diawasi oleh Inspektur Tambang dengan demikian IT harus dibekali pengetahuan yang cukup untuk aspek ini, agar mereka dapat melaksanakan tugas tersebut dengan optimal. Di samping itu pengawasan teknis dan pengawasan konservasi pertambangan dapat juga mengacu kepada dokumen Studi Kelayakan, AMDAL, RKTTL dan RKAB (kesesuaian antara rencana dan kondisi aktual di lapangan).
Dari sisi SDM sendiri, apakan Inspektur Tambang (IT) yang dimiliki sudah cukup untuk melakukan pengawasan seluruh tambang di Indonesia? Jika tidak, langkah apa yang dilakukan ke depannya ?
Dalam Renstra KESDM tahun 2010–2014, akan ada 1.000 IT sebagai aparatur Pengawas Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di seluruh Indonesia. Dalam hal ini Badan Diklat ESDM telah melaksanakan diklat IT pada tahun 2010 yang telah berhasil mendidik sebanyak 168 orang Calon IT yang terdiri dari 55 orang Diklat Teori dan Praktik serta 113 orang Diklat Teori saja. Untuk rencana tahun 2011, akan dididik sebanyak 50 orang Diklat Teori dan Praktek, serta 100 orang Diklat Praktik praktek saja.
Di Ditjen Menerba sampai saat ini telah ada 7 orang IT dan 15 orang calon IT yang siap diangkat. Langkah kedepan yang akan dilakukan untuk meningkatkan pengawasan oleh IT adalah meningkatkan kualitas IT dan memperbanyak jumlah IT di seluruh Indonesia.
Memang untuk pengadaan Inspektur Tambang ini ada kendala pada Pemerinta Daerah khususnya di Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota, banyak Aparat Pengawas yg telah menikuti Diklat Inspektur Tambang kemudian dimutasi ke Bidang lain maupun Dinas lain, sehingga tidak lagi melakukan pengawasan sesuai dengan Tupoksi Inspektur Tambang. Selain daripada itu juga yang menjadi masalah adalah keterbatasan staf yg berlatar belakang teknik pada Dinas ESDM di daerah, sehingga banyak mereka yang sudah mengikuti DIklat IT masih memegang jabatan structural, padahal IT sendiri adalah jabatan fungsional yang sesuai dengan Peraturan Perundangan tidak boleh dirangkap dengan jabatan struktural
Apakah ada sanksi kepada para pemegang IUP, IPR atau IUPK jika saja mereka tetap melakukan pelanggaran setelah dilakukan pengawasan?
Sanksi yang diberikan kepada pemegang IUP/IUPK maupun IPR jika mereka tetap melakukan pelanggaran setelah dilakukan pengawasan, bias sampai penutupan sementara bahkan secara permanen kegiatan.
Mekanismenya adalah sebagai berikut : Setelah dilakukan pengawasan IT akan mendaftarkan petunjuk, perintah dan larangan dalam Buku Tambang, kemudian pemegang IUP/IUPK wajib menyampaikan laporan tindak lanjut atas petunjuk/perintah/larangan tersebut (aspek teknis pertambangan dan konservasi termasuk dalam aspek pengawasan IT) kepada Direktorat Teknik dan Lingkungan Minerba. Apabila pemegang IUP/IUPK tidak mengindahkan petunjuk/perintah/larangan dari Inspektur Tambang, maka akan diberikan sanksi administratif (dari teguran, penutupan sementara sampai penutupan permanen), atau bahkan IT bias langsung melakukan penutupan sementara sebagian atau seluruh kegiatan bilamana tidak sesuai dengan dokumen-dokumen perizinan ataupun ada kondisi yang berportensi mengakibatkan kecelakaan ataupun pencemaran lingkungan.
Tidak kalah pentingnya adalah pengawasan K3, apakah yang Bapak lakukan dalam rangka bimbingan dan supervisi. Karena K3 merupakan bagian terpenting dari proses pengawasan.
Terdapat lima point penting dalam pelakukan pembinaan dan pengawasan K3. Yang pertama adalah Pembinaan K3 dan keselamatan operasi yang diberikan kepada aparat Dinas ESDM Provinsi, Kabupaten/Kota antara lain: Pemberian pedoman dan standard pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan; Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi; Pendidikan dan pelatihan; Perencanaan,
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 45
penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara.
Kedua, pembinaan K3 dan keselamatan operasi yang diberikan kepada pemegang IUP, IPK dan IUPK antara lain: Pengadministrasian pertambangan; Teknis operasional pertambangan; Penerapan standar kompetensi tenaga kerja pertambangan.
Ketiga, pembinaan yang dilakukan terhadap IT antara lain: Diklat Pra Jabatan IT yang merupakan pembinaan yang dilakukan sebagai syarat pengangkatan untuk menjadi IT, antara lain: Diklat Pengawas Pengusahaan Pertambangan bagi Aparat Dinas Pertambangan dan Diklat Praktik Pelaksana Inspeksi Tambang; serta Diklat Dalam Jabatan IT yang merupakan pembinaan yang dilakukan setelah dan saat menjadi IT, antara lain Diklat ke luar negeri kerjasama dengan pihak luar, seperti Diklat K3 Tambang Dalam di Tambang Ikheshima Jepang, kerjasama dengan J-Coal; In house training kerjasama dengan pihak luar, seperti J-Coal, Teknik Tambang ITB; Magang di perusahaan tambang .
Keempat, pengawasan terhadap pengelolaan K3 dan keselamatan operasi yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota antara lain: Administarasi/tata laksana; Operasional; Kompetensi aparatur; Pelaksanaan program pembinaan dan pengawasan K3 dan keselamatan operasi terhadap pemegang IUP, IPR dan IUPK.
Kelima, pelaksanaan pengawasan K3 dan keselamatan operasi pertambangan terhadap pemegang IUP, IPR dan IUPK dilaksanakan dalam bentuk Pengawasan Administratif dan Pengawasan Operasional /Lapangan. Pengawasan Administratif meliputi Bahan peledak (Format IVi / Rekomendasi); Laporan kecelakaan (Format IIIi; Vi; VIi; VIIi; VIIIi; IXi); Peralatan (SKPP, SKPI dan dokumen perijinan lainnya); Persetujuan (hasil kajian tinggi jenjang, ventilasi, penyanggaan, dan lain- lain); Laporan pelaksanaan program K3 (Triwulan); Rencana Kerja Tahunan Teknis dan Lingkungan (RKTTL). Pengawasan operasional / lapangan meliputi: Inspeksi K3; Pemeriksaan / Penyelidikan Kecelakaan dan kejadian berbahaya; Pengujian Kelayakan Sarana, Peralatan dan Instalasi; Pengujian Kondisi Lingkungan Kerja;Penilaian kompetensi personil yang bekerja pertambangan.
Apakah tantangan dan hambatan dalam implementasi PP 55/2010 terkait aspek keteknikan?
Tantangan: harus segera membuat regulasi/petunjuk teknis terkait teknis pertambangan, sehingga terjadi penguasaan dan pemahaman bersama antara pemerintah dengan pelaku usaha pertambangan.
Hambatan: Para IT belum mempunyai kompetensi yang cukup untuk melakukan pengawasan aspek teknis, karena selama ini dalam Diklat IT materi pelatihan masih dititikberatkan pada aspek K3 dan Lingkungan
Disamping juga telah diterbitkan PP No. 78/2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, hal-hal penting apa saja yang diatur dalam PP tersebut dan bagaimana pandangan Bapak terhadap kecenderungan tentang semakin meningkatnya tuntutan atas pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang yang lebih baik?
Hal-hal penting yang diatur dalam PP 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang adalah mengatur mengenai Prinsip Reklamasi dan Pascatambang, Tata Laksana Reklamasi dan Pascatambang, Jaminan Reklamasi dan Pascatambang, Penyerahan Wilayah dan Sanksi. Saat ini sudah saatnya mengawal perusahaan pertambangan untuk melaksanakan reklamasi tidak hanya “business as usual” yaitu cukup hijau dan rapat, tetapi juga harus memenuhi prinsip lingkungan yaitu melakuan perlindungan terhadap kualitas air (permukaan, tanah, laut), udara dan tanah¸ perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, jaminan terhadap keamanan dan kestabilan timbunan, memiliki kejelasan terhadap pemanfaatan lahan pascatambang dan mengakomodir aspek sosial dan budaya serta mempertimbangkan kuantitas air tanah.
46 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
Penyerahan Penghargaan Keselamatan Pertambangan
dan Kepanasbumian merupakan
kegiatan rutin yang diadakan oleh Direktorat
Jenderal Mineral dan Batubara. Penyerahan Penghargaan
Keselamatan Pertambangan telah diadakan
sejak tahun 1992 dan Kepanasbumian sejak
tahun 2006.
Tujuan Pemberian Penghargaan Keselamatan
Pertambangan dan Kepanasbumian adalah untuk
memotivasi para pengelola Pertambangan Mineral
dan Batubara serta Pengusahaan Panas Bumi untuk
dapat mencapai prestasi setinggi-tingginya dalam
pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Kelompok perusahaan yang dinilai dalam
Penghargaan Keselamatan Pertambangan dan
Kepanasbumian terdiri dari tiga kelompok, yaitu :
1. Kelompok Pertambangan Mineral dan Batubara;
2. Kelompok Pengusahaan Panas Bumi, dan
3. Kelompok Kontraktor Utama Jasa Pertambangan.
Tahapan kegiatan Penilaian Penghargaan Keselamatan
Pertambangan dan Kepanasbumian
dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut :
a. Tahap pertama (seleksi)
b. Tahap kedua (evaluasi lapangan)
c. Tahap ketiga (evaluasi akhir)
Penilaian ini melibatkan Tenaga Ahli dari Universitas
Indonesia dan Para Pelaksana Inspeksi Tambang/
Inspektur Tambang dari Pusat dan Daerah.
Hasil penilaian Penghargaan Keselamatan Pertambangan
dan Kepanasbumian adalah sebagai
berikut:
• Peraih piagam pratama (bersimbol perunggu)
adalah perusahaan yang memperoleh nilai 8 sebanyak
14 perusahaan.
• Peraih piagam utama (bersimbol perak) adalah
perusahaan yang memperoleh nilai 9 sebanyak
21 perusahaan.
• Peraih piagam aditama (bersimbol emas) adalah
perusahaan yang memperoleh nilai 10 sebanyak
6 perusahaan.
• Peraih Trophy adalah perusahaan yang terbaik
dari peraih piagam aditama sesuai dengan kelompok
kegiatan usahanya sebanyak 3 perusahaan
terdiri dari 1 perusahaan pertambangan
mineral dan batubara, 1 perusahaan kontraktor
utama jasa pertambangan, dan 1 perusahaan
pengusahaan panas bumi.
Penghargaan Keselamatan
Pertambangan dan Kepanasbumian Tahun 2010
Seminar Usaha Jasa
Dirjen Mineral & Batubara Membuka Acara
Pertemuan Tahunan
Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara
Balai Kartini, 23-24 November 2010
Pertemuan Tahunan Usaha Jasa Pertambangan
ini merupakan kegiatan rutin Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara dengan tujuan sebagai salah
satu upaya membangun komunikasi bagi seluruh
Perusahaan Jasa Pertambangan dengan para stakeholder
industri pertambangan dan industri terkait
baik dari jajaran pemerintah, asosiasi, praktisi, akademisi,
agar dikemudian hari terjadi peningkatan
peran jasa pertambangan yang profesional dan
siap berkompetisi secara global.
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 47
INFO MINERBAPABUM
Pembukaan oleh Kasubag Pelaporan
Ditjen Minerba
Para peserta mengikuti workshop
dengan serius
Suasana Kelas Pelatihan
Pengajar dari Bappenas
Menjelaskan Tentang PP 39/2006
Pengajar dari Tekmira menjelaskan tentang aplikasi pelaporan
Workshop Aplikasi PP 39/2006
dan Aplikasi Pelaporan
di Bandung
48 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi edisi 8 - Desember 2010
Bermain Pasir Ternyata
Ada Aturannya Juga
“Dino lagi ngapain tuh kok kayaknya sibuk
banget bawa-bawa cangkul segala?” tanya Mino
heran. Sekarang kan hari libur, Mino heran karena
Dino malah tampak sibuk.
“Ini gw mau menambang pasir Min”, Dino
bangga, berasa penambang besar.
“Nambang pasir Din? Buat apa si repot-repot
amat tinggal beli, lagian lu kan ga punya izin
penambangan.
“Ini Min gw mau benerin tembok belakang
rumah, daripada beli pasir mending menambang
sendiri pan gratis,” kata Dino berkelit.
“Tapi Mino, memang harus punya izin ya
kalo cuma mau ambil pasir di sungai atau pasir
urug gitu?” Dino penasaran balik bertanya.
“Ya ampun Din, Istilah lu lebay banget si,
mau ambil pasir aja pake bilang menambang pasir.
Ckckckck….” Mino kesal bercampur heran, si
Dino kok makin aneh aja ni ulahnya.
“Hahaha… sabar ya Min.. tapi jadi bingung
izin kalau mau nambang tu seperti apa ya? Kali
aja kan gw jadi penambang propesional.” Dino
mendadak susah bilang huruf ‘f.
“Nah seneng gw nih ma gaya lu Din belagu
gitu, kudu banyak baca dan lihat berita kayaknya
lu Din..”
“Nah kalau mau jadi penambang tu kudu
ngarti peraturan dan perizinannya Din, jadi lu
bisa melakukan kegiatan tambang yang baik
dan benar Din”, Mino mulai mengeluarkan jurus
‘berubah pintar’-nya. Mino memang benar,
karena masalah perizinan tambang bahan galian
Mineral Non Logam dan Batuan juga menjadi
masalah yang cukup serius.
“Kamu tau ga Dino, potensi bahan galian
material pasir dan batu itu merupakan produk
vulkanik Gunung Berapi loh.”
“Wahhh…seruu…” Dino takjub.
“Seru Apaan si Din, nih gw bukan sedang
baca dongeng tau… dengerin dulu…” sahut
Mino sembari jengkel, tapi penjelasan harus
tetap berlanjut.
“Nah.. Din, berhubung pasir itu termasuk
golongan komoditas tambang batuan, maka ada
aturannya,” sambung Mino sambil menjelaskan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara secara singkat.
“Nah..., kamu kebanyakan ‘nah’-nya hari ini,“
protes Dino sambil melempar senyum simpul.
“Min, kalo pasir kebanyakan diurug apa bisa
merusak ekosistem alam juga ya? Apa ada aturan
juga tentang menjaga ekosistem gitu?
“Pertanyaan lo cerdas Din…” sahut Mino.
Lalu Mino menjelaskan panjang lebar bahwa
setiap perusahaan yang bergerak dalam kegiatan
pertambangan berkewajiban mengelola
lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang.
Wujudnya berupa pengelolaan dan pemantauan
lingkungan sesuai dengan dokumen pengelolaan
lingkungan atau izin lingkungan. Mereka
juga wajib melakukan penataan, pemulihan, dan
perbaikan lahan sesuai peruntukannya; penetapan
dan pencairan jaminan reklamasi; pengelolaan
pascatambang; penetapan dan pencairan
jaminan pascatambang; pemenuhan baku
mutu lingkungan. Hal ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun
2010 Tentang Reklamasi Dan Pascatambang.
Dino menganggung-angguk.
“Gitu Din, memang banyak hal yang harus
diperhatikan sebelum melakukan kegiatan
penambangan. Tapi itu juga sangat membantu
keberlangsungan kegiatan usaha pertambangan
itu sendiri. Ok Dino mari kita let’s go..” ajak Mino.
“Let’s go lah.. mari kita majukan Pertambangan
Indonesia dengan Tertib dengan Aturan Pertambangan
sesuai Ketentuan … “ Dino berteriak
penuh semangat.
edisi 8 - Desember 2010 Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi 49
CELOTEH SI MINO
DIREKTORAT JENDERAL MINERAL, BATUBARA DAN PANAS BUMI
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
Jl. Prof. Dr. Supomo, SH No. 10, Jakarta 12870 - Indonesia
Telp : +62-21 8295608; Fax : +62-21 8315209, 8353361
www.djmbp.esdm.go.id
E-mail : wartambp@djmbp.esdm.go.id
Masa Depan
Tambang Indonesia
Meningkatkan
Nilai Tambah
di Dalam Negeri